Selasa, 12 April 2016

Pengamalan Zuhud Para Tokoh Sufi



Arti Zuhud  (الزهد ) secara umum dalah sifat ketidakpedulian terhadap dunia.[1] Menurut Imam Ghazali, Zuhud adalah meninggalkan keduniaan karena mengerti bahwa dunia itu adalah hina bila dibanding dengan keindahan akhirat.[2]Zuhud” bila diartikan sesuai dengan semangat syariat islam dapat dirumuskan sebagai berikut: “menghindari perhambaan harta benda, tidak rakus terhadap kemewahan duniawi, menerima nikmat Allah SWT dengan perasaan qana’ah, cendrung dan mengutamakan ganjaran pahala akhirat, memilih hidup sederhana karena percaya bahwa khazanah rezeki yang tidak terkira ada di tangan Allah SWT, rajin bekerja dan berderma[3]
Dari pengertian yang diatas, pada dasarnya zuhud mempunyai persamaan makna yaitu, tidak rakus kepada dunia, tidak serakah, tidak tamak, tidak panjang angan-angan terhadap dunia. Hatinya telah dimatikan kepada dunia kecuali sekedar kebutuhan yang dapat menyampaikan orang menuju kepada ketenangan dan kesempurnaan ibadah. Oleh sebab itu,  orang zuhud tidak berlebih-lebihan dalam makanan, dalam kesenangan, meskipun hal itu bisa dia lakukan. Sebagaimana Sabda Rasulullah : “Tiada hak bagi anak Adam kecuali beberapa perkara ini: Rumah yang ditempatinya, pakaian yang menutupi auratnya dan roti kering serta air.” (HR. Tirmidzi).[4]Pengamalan zuhud para tokoh-tokoh tasawuf atau sufi yang terkenal pada masa, diantaranya :
1.      Hasan Al-Bashri
Hasan al Bashri Nama lengkapnya adalah al-Hasan bin Abi al-Hasan Abu Said. Dia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H dan meninggal di Basrah pada tahun 110 H. Ia adalah putra Zaid bin Tsabit, seorang budak yang tertangkap di Maisan, yang kemudian menjadi sekretaris Nabi Muhammad saw. Hasan Al-Bashri adalah seorang yang zahid yang termasyhur dikalangan tabi’in.
Hasan al-Basri adalah seorang zahid yang termasyhur dikalangan tabi’in. prinsip ajarannya yang berkaitan dengan hidup kerohanian senantiasa diukurnya dengan sunnah Nabi, bahkan beliaulah yang mula-mula memperbincangkan berbagai masalah yang berkaitan dengan hidup kerohanian, tentang ilmu akhlak yang erat hubungannya dengan cara mensucikan jiwa dan membersihkan hati dari sifat-sifat yang tercela. Dasar pendirian Hasan al-Basri adalah hidup zuhud terhadap dunia, menolak segala kemegahannya, meninggalkan kenikmatan dunia hanya semata menuju kepada Allah, memperkuat tawakal, khauf terhadap siksaannya, dan raja’ terhadap karunia-Nya.[5]
2.      Sufyan al-Tsaury
Nama lengkapnya ialah sofyan bin Sa’id Atstsauri lahirdi Kuffah 97 H,meninggal di Bashrah 161 H. Ia adalah seorang zahid pada masa tabi’in. hidup keruhaniaannya, menjurus kepada hidup yang bersahaja, penuh kesederhanaan, tidak terpukau dengan kemegahan dan kemewahan dunia. [6]
Sufyan al-Tsauri termasuk zahid yang sangat berani, tidak takut dibunuh alam mengemukakan kritik terhadap penguasa, beliau sangat mencela kehidupan para penguasa yang bergelimang kemewahan, hidup berfoya-foya dengan kekayaan negara yang diperoleh dari hasil ekspansi dan kemajuan Islam, sementara masih banyak rakyat yang hidup dalam kemelaratan. Beliau dengan lantang memberi nasihat kepada umat Islam agar jangan mengkuti peri kehidupan mereka yang telah rusak moralnya itu, yang jauh dari ajaran Nabi dan para sahabat.[7]

3.      Junaid Al-Baghdadi
 Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-nihwandi.  Al-Junaid dikenal dalam sejarah tasawuf sebagai seorang sufi, ia menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya.

4.      Ibrahim bin Adham
Namanya adalah Abi Ishaq Ibrahim bin Adham, lahir di Balkh dari keluarga bangsawan Arab. Dalam legenda sufi, ia dikatakan sebagai pangeran yang eningakan kerajaannya, lalu mengembara kearah barat untuk menjalani hidup sebagai seorang pertapa sambil mencari nafkah yang halal hingga meninggal di negeri Persia kira-kira pada tahun 160 H. Tentang identitasnya dan kisah peralihannya menjadi seorang zahid yang menjadi tema favorit para sufi kemudian, seringkali dibadingkan dengan kisah Budha Gautama. Ibrahim bin Adham adalah seorang zahid di Khurasan yang sangat menonjol di zamannya. Kendatipun dia putera seorang raja dan pangeran kerajaan Balkh, dia tidak terpesona oleh kekuasaan dan kerajaan yang dibawahinya.
5.      Ma’ruf Al-karkhi
Ma’ruf al-Karkhi adalah tokoh yang mengembangkan konsep ajaran cinta dalam tasawuf. Di antara makna tasawuf yang dikembangkan Ma’ruf al-Karkhi ialah; tasawuf adalah memperoleh hakikat (ma’rifat) dan tidak mengharap sama sekali apa yang berada di tangan makhluk.
Berkenaan dengan cinta kepada Allah, Ma’ruf al-Karkhi mengatakan: cinta kepada-Nya bukanlah diperoleh melalui pengajaran, ia merupakan pemberian atau karunia Tuhan. Cinta kepada Allah menurutnya bukan termasuk posisi yang didapat melalui usaha melainkan keadaan jiwa yang dikaruniakan oleh Allah. Bagi Ma'ruf, tasawuf merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT.[8]
Jadi, apabila dikaitkan dengan zaman sekarang zuhud dapat diartikan sebagai bentuk syukur dengan apa yang Allah berikan, membelanjakan hartanya sesuai dengan kebutuhan, menyedekahkan sebagian hartanya di jalan Allah, ikhlas dalam menolong, tidak sombong, kikir dan tamak, dan dapat menyelaraskan kepentingan dunia dan akhirat. Orientasi zuhud lebih kepada sikap seseorang dalam memandang duniawi dengan tidak mencintainya secara berlebihan yang dapat melupakan akan kehidupan akhirat.




 [1]Harun Nasution, Filsafat dan Misticisme dalam Islam, (Jakarta, Bulan bintang:1997 ) hlm. 58.
[2]Abdul Fattah, Kehidupan Manusia di tengah-tengah Alam Materi, ( Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1995)
[4]Abdul Fattah, Kehidupan Manusia di tengah-tengah Alam Materi,…, hlm. 89.
[6]IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu tasawuf (Sumatera Utar:Depertemen Agama1982) h. 63

Tidak ada komentar:

Posting Komentar