Arti Zuhud (الزهد ) secara
umum dalah
sifat ketidakpedulian terhadap dunia.[1]
Menurut Imam Ghazali, Zuhud adalah meninggalkan keduniaan karena mengerti bahwa
dunia itu adalah hina bila dibanding dengan keindahan akhirat.[2]Zuhud”
bila diartikan sesuai dengan semangat syariat islam dapat dirumuskan sebagai
berikut: “menghindari perhambaan harta benda, tidak rakus terhadap kemewahan
duniawi, menerima nikmat Allah SWT dengan perasaan qana’ah, cendrung dan
mengutamakan ganjaran pahala akhirat, memilih hidup sederhana karena percaya
bahwa khazanah rezeki yang tidak terkira ada di tangan Allah SWT, rajin bekerja
dan berderma[3]
Dari pengertian yang diatas, pada
dasarnya zuhud mempunyai persamaan makna yaitu, tidak rakus kepada dunia, tidak
serakah, tidak tamak, tidak panjang angan-angan terhadap dunia. Hatinya telah
dimatikan kepada dunia kecuali sekedar kebutuhan yang dapat menyampaikan orang
menuju kepada ketenangan dan kesempurnaan ibadah. Oleh
sebab itu, orang zuhud tidak
berlebih-lebihan dalam makanan, dalam kesenangan, meskipun hal itu bisa dia
lakukan. Sebagaimana Sabda Rasulullah : “Tiada hak bagi anak Adam kecuali
beberapa perkara ini: Rumah yang ditempatinya, pakaian yang menutupi auratnya
dan roti kering serta air.” (HR. Tirmidzi).[4]Pengamalan
zuhud para tokoh-tokoh tasawuf atau sufi yang terkenal pada masa, diantaranya :
1. Hasan Al-Bashri
Hasan al Bashri Nama
lengkapnya adalah al-Hasan bin Abi al-Hasan Abu Said. Dia dilahirkan di Madinah
pada tahun 21 H dan meninggal di Basrah pada tahun 110 H. Ia adalah putra Zaid
bin Tsabit, seorang budak yang tertangkap di Maisan, yang kemudian menjadi
sekretaris Nabi Muhammad saw. Hasan
Al-Bashri adalah seorang yang zahid yang termasyhur dikalangan tabi’in.
Hasan al-Basri adalah
seorang zahid yang termasyhur dikalangan tabi’in. prinsip ajarannya yang
berkaitan dengan hidup kerohanian senantiasa diukurnya dengan sunnah Nabi,
bahkan beliaulah yang mula-mula memperbincangkan berbagai masalah yang
berkaitan dengan hidup kerohanian, tentang ilmu akhlak yang erat hubungannya
dengan cara mensucikan jiwa dan membersihkan hati dari sifat-sifat yang
tercela. Dasar pendirian Hasan al-Basri adalah hidup zuhud terhadap dunia,
menolak segala kemegahannya, meninggalkan kenikmatan dunia hanya semata menuju
kepada Allah, memperkuat tawakal, khauf terhadap siksaannya, dan raja’ terhadap
karunia-Nya.[5]
2. Sufyan al-Tsaury
Nama lengkapnya ialah sofyan bin Sa’id Atstsauri
lahirdi Kuffah 97 H,meninggal di Bashrah 161 H. Ia adalah seorang zahid pada
masa tabi’in. hidup keruhaniaannya, menjurus kepada hidup yang bersahaja, penuh
kesederhanaan, tidak terpukau dengan kemegahan dan kemewahan dunia. [6]
Sufyan al-Tsauri
termasuk zahid yang sangat berani, tidak takut dibunuh alam mengemukakan kritik
terhadap penguasa, beliau sangat mencela kehidupan para penguasa yang
bergelimang kemewahan, hidup berfoya-foya dengan kekayaan negara yang diperoleh
dari hasil ekspansi dan kemajuan Islam, sementara masih banyak rakyat yang
hidup dalam kemelaratan. Beliau dengan lantang memberi nasihat kepada umat
Islam agar jangan mengkuti peri kehidupan mereka yang telah rusak moralnya itu,
yang jauh dari ajaran Nabi dan para sahabat.[7]
3. Junaid Al-Baghdadi
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-nihwandi. Al-Junaid dikenal dalam sejarah tasawuf
sebagai seorang sufi, ia menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan
perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya.
4. Ibrahim
bin Adham
Namanya adalah
Abi Ishaq Ibrahim bin Adham, lahir di Balkh dari keluarga bangsawan Arab. Dalam
legenda sufi, ia dikatakan sebagai pangeran yang eningakan kerajaannya, lalu
mengembara kearah barat untuk menjalani hidup sebagai seorang pertapa sambil
mencari nafkah yang halal hingga meninggal di negeri Persia kira-kira pada
tahun 160 H. Tentang identitasnya dan kisah peralihannya menjadi seorang zahid
yang menjadi tema favorit para sufi kemudian, seringkali dibadingkan dengan
kisah Budha Gautama. Ibrahim bin Adham adalah seorang zahid di Khurasan yang sangat
menonjol di zamannya. Kendatipun dia putera seorang raja dan pangeran kerajaan
Balkh, dia tidak terpesona oleh kekuasaan dan kerajaan yang dibawahinya.
5.
Ma’ruf Al-karkhi
Ma’ruf al-Karkhi adalah tokoh yang mengembangkan konsep ajaran cinta dalam
tasawuf. Di antara makna tasawuf yang dikembangkan Ma’ruf al-Karkhi ialah; tasawuf
adalah memperoleh hakikat (ma’rifat) dan tidak mengharap sama sekali apa yang
berada di tangan makhluk.
Berkenaan dengan cinta
kepada Allah, Ma’ruf al-Karkhi mengatakan: cinta kepada-Nya bukanlah diperoleh melalui
pengajaran, ia merupakan pemberian atau karunia Tuhan. Cinta kepada Allah
menurutnya bukan termasuk posisi yang didapat melalui usaha melainkan keadaan
jiwa yang dikaruniakan oleh Allah. Bagi Ma'ruf, tasawuf merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan)
akan Allah SWT.[8]
Jadi, apabila dikaitkan
dengan zaman sekarang zuhud dapat diartikan sebagai bentuk syukur dengan apa
yang Allah berikan, membelanjakan hartanya sesuai dengan kebutuhan, menyedekahkan
sebagian hartanya di jalan Allah, ikhlas dalam menolong, tidak sombong, kikir
dan tamak, dan dapat menyelaraskan kepentingan dunia dan akhirat. Orientasi
zuhud lebih kepada sikap seseorang dalam memandang duniawi dengan tidak
mencintainya secara berlebihan yang dapat melupakan akan kehidupan akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar