Masalah
khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Di antara masalah khilafiah
tersebut, ada yang menyelesaikannya dengan cara yang mudah dan sederhana
berdasarkan akal sehat dan ada pula dengan sikap ta’asubiyah (fanatik
yang berlebihan, tidak berdasarkan pada pertimbangan akal sehat dan sebagainya.
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam perbedaan pendapat (ikhtilaf) mengenai
penetapan beberapa masalah hukum telah terjadi di kalangan para sahabat, ini
dikarenakan adanya perbedaan paham di antara mereka dan perbedaan nash (sunah)
yang sampai kepada mereka.
Masalah
khilafiah dalam fiqh tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan
kedudukan hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kebebasan kepada
banyak orang untuk berpendapat. Hal ini yang diharapkan Nabi saw dalam
haditsnya اِخْتِلاَفُ اٌمَّتِى
رَحْمَة “perbedaan pendapat (di kalangan) ummatku adalah rahmat”. Dengan demikian orang bebas memilih salah satu
pendapat dari pendapat yang banyak itu, dan tidak terpaku hanya kepada satu
pendapat saja.
A. Pengertian Ikhtilaf
Ikhtilaf
bersumber dari bahasa Arab yang asal katanya adalah
(خَلَفَ- يَخْلِفُ- خِلاَ فًا) yang artinya
perbedaan paham (pendapat). Sedangkan menurut istilah ikhtilaf adalah berlainan
pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap suatu obyek
(masalah) tertentu.[1]
Dan ada
yang mengartikan ikhtilaf adalah perselisihan paham atau pendapat di kalangan
para ulama fiqh sebagai hasil ijtihad untuk mendapatkan dan menetapkan suatu
ketentuan hukum tertentu.[2].
Istilah lain
untuk ikhtilaf adalah perbedaan pendapat diantara ahli hukum Islam (fuqaha)
dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu’iyah, bukan
pada masalah hukum Islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok hukum
Islam) disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan
hukum suatu masalah, dll. Misal, perbedaan pendapat fuqaha‟ tentang hukum
wudhu‟ seorang lelaki yang menyentuh perempuan, hukum membaca surat fatihah
bagi makmum dalam shalat berjama‟ah, dsb.[1]
Terhadap perkara
ini Allah menegaskan dalam firnan-Nya :
öqs9ur uä!$x© y7/u @yèpgm: }¨$¨Z9$# Zp¨Bé& ZoyÏnºur ( wur tbqä9#tt úüÏÿÎ=tGøèC ÇÊÊÑÈ wÎ) `tB zMÏm§ y7/u 4 y7Ï9ºs%Î!ur óOßgs)n=yz 3 ÇÊÊÒÈ
“Jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
Senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka” (Q.S Huud :118-119)
B. Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf
Terjadinya
perbedaan pendapat dalam menteapkan hukum Islam, disamping disebabkan oleh
faktor yang bersifat manusiawi, juga oleh faktor lain karena adanya segi khusu
yang bertalian dengan agama.
1.
Faktor
akhlak, antara lain karena :
a.
Membanggakan
diri dan kagum pendapat sendiri
b.
Buruk
sangka dan mudah menuduh orang tanpa bukti
c.
Egoisme
dan mengikuti hawa nafsu
d.
Fanatik
kepada pendapat orang, mazhab atau golongan
e.
Fanatik
kepada negeri, daerah, partai, jama’ah atau pemimpin.
2.
Faktor
pemikiran, antara lain dikarenakan timbul perbedaan sudut pandang mengenai
suatu masalah :
a.
Masalah
ilmiah, perbedaan menyangkut cabang syari’at dan beberapa masalah aqidah yang
tidak menyentuh prinsip-prinsip pasti.
b. Masalah
alamiah, perbedaan mengenai sikap politik dan pengambilan keputusan atas
berbagai masalah, ikhtilaf fiqhi, ikhtilaf fiqriah (perbedaan pandangan
mengenai penialaian terhadap sebagian ilmu pengetahuan).
Menurut
Muhammad Abdul Fattah Al- Bayanuni, dalam Dirasat ikhtilaf al-fiqhiyyah,
asal mula perbedaan pendapat hukum-hukum fiqh disebabkan timbulnya ijtihad
terhadap hukum, terutama pasca Nabi saw dan para sahabat meninggal dunia. Ada
dua faktor yang sangat mendasar :
1. Kemungkinan
yang terkandung dalam nash-nash (Qur’an dan hadis)
2. Perbedaan
pemahaman ulama
Diantara kedua
faktor tersebut dapat diartikan bahwa apabila nash-nash yang mengandung
kemungkinan bertemu dengan akal dan pemahaman yang berbeda maka akan
menghasilkan pendapat yang beragam[1].
Adapun sebab terjadinya ikhtilaf menurut Syekh Muhammad al Madany dalam
bukunya, Ikhtilaf al-Fuqaha’, membagi sebab- sebab ikhtilaf ke dalam
empat macam[2],
yaitu :
a.
Pemahaman
Al-Quran dan Al- Sunnah
b. Sebab-sebab
khusus mengenai sunnah Rasulullah
c. Perbedaan
mengenai Qawa’id Ushuliyyah dan Qawa’id Fiqhiyyah
d. Perbedaan
penggunaan dalil di luar Al-Qur’an dan Sunnah
C. Perbedaan Ahlu al-Hadits dan Ahlu ar-Ra’yi
Fuqaha (ahli-ahli hukum) yang berasal dari berbagai daerah/negeri, dalam
berijtihad, biasanya berlandaskan pada pendapat dan ketetapan para sahabat yang
tinggal di daerah mereka masing-masing.
Pada masa Tabi’in, umat Islam terpecah kepada tiga kelompok, yaitu:
Khawarij, Syi’ah dan Jumhur. Setiap golongan berpegang teguh kepada pendapat
masing-masing dan mempertahankannya. Golongan Khawarij misalnya, mereka
berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar hukumnya kafir, sementara
golongan yang lain tidak demikian.
Golongan Jumhur dalam menetapkan hukum terbagi
menjadi dua golongan:
1) Ahlu Hadits
Golongan ini berkembang di Hijaz. Dalam
menetapkan hukum, madzhab ini terikat pada teks-teks Al Qur’an dan Sunnah. Bila
dalam menetapkan hukum suatu masalah tidak ditemukan hukumnya dalam nash Al
Qur’an dan Sunnah, mereka berpaling kepada praktek dan pendapat sahabat. Mereka
menggunakan Ra’yu dalam keadaan sangat terpeksa. Tokoh-tokoh dalam aliran ini
yang termasyhur adalah Sa’id Ibn al Musayyab al Mahzumy. Ia dikuti oleh al
Zuhry, al Tsaury, Malik, Syafi’i, Ahmad Ibn Hanbal dan Dawud az Zhahiry.[1]
Sa’id ibn al Musayyab dan kelompoknya
berpendapat, bahwa penduduk negeri haramain (Makkah dan Madinah) telah
mengukuhkan orang-orang hanya untuk menggunakan hadits dan fiqih dengan
menggunakan fatwa-fatwa Rasullullah saw. dan para sahabatnya, sehingga tetap
memelihara warisan-warisan yang ada pada mereka, dan ini sudah lebih dari cukup
daripada menggunakan Ra’yu (rasio). Lebih mengutamakan menggunakan hadits daripada
ra’yu, sekalipun haditsnya tergolong dha’if (lemah)[1]
(2) Ahlu Ra’yi
Golongan ini berkembang di Irak (khususnya
wilayah Kuffah dan Bashrah), dengan tokohnya yang terkenal yaitu Ibrahim ibn
Yazid al-Nakha’i al-Kuffi.[1]
Dalam menetapkan hukum, dengan menggunakan ra’yu, mereka berpendapat bahwa
hukum-hukum syari’at memiliki makna logis, mencakupi seluruh kemashlahatan,
didasarkan atas pokok-pokok yang muhkam (telah dikukuhkan dan tidak
dapat ditafsiri) dan mengandung alasan-alasan yang tepat bagi hukum.
Dalam menetapkan hukum, madzhab ahli ra’yi ini
berdasakan pada beberapa asumsi dasar, antara lain :
1. Nash-Nash syari’ah sifatnya terbatas, sedangkan peristiwa-peristiwa hukum
selalu baru dan senantiasa berkembang. Oleh sebab itu, terhadap peristiwa-peristiwa
yang tidak ada nashnya, ijtihad didasarkan pada ra’yu.
2. Setiap hukum syara’ dikaitkan dengan ‘illat tertentu dan ditunjukan untuk
tujuan tertentu. Tugas utama seorang fakih ialah menemukan illat ini.[1]
Mereka mengikuti pola pikir Umar ibn al Kathab, Ali ibn Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud. Ketiganya adalah sahabat
Nabi Muhammad saw.yang banyak menggunakan ra’yun dalam menetapkan hukum.
Pola pikir mereka inilah yang dikembangkan oleh Alqamah ibn Qais, Al Aswad ibn
Yazid al Nakha’iy, Masruq ibn Ajda, Ubaidah ibn ‘Amr, Syuraikh ibn Harits,
Harits al A’war dan Abu Hanifah.
Faedah dan manfat dari ikhtilaf dapat diperoleh bila dalam berikhtilaf itu
berpijak pada ketentuan dan adab yang terkandung di dalamnya. Namun jika ketentuan dan batasan itu dilanggar, maka sudah pasti
akan menimbulkan perpecahan. Hal ini akan melahirkan kesulitan dan kejahatan,
sehingga dapat mengganggu kehidupan umat. Jika begitu keadaannya, maka ikhtilaf
akan berubah menjadi ajang kehancuran.[1]
[1] Abbas Arfan, Geneologi Pluralitas
Madzhab dalam Hukum Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 166.
[1]Marhamah saleh,
Ibid
[1]Marhamah Saleh,
Bahan Ajar Kuliah Perbandingan Mazhab, (http://marhamahsaleh.wordpress.com/fiqh-muqaran/03/12/2016
12 :30 pm)
[1]
Huzaemah Tahido
Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Gaung Persada
Press,2014), h.54
[2] M. Ali Hasan, Perbandingan
Mazhab, (Jakarta : Rajawali Pers, 1995) h. 114
Tidak ada komentar:
Posting Komentar