Minggu, 17 April 2016

Causes of deviation in Fiqh and The difference Ahlu al - Hadith and Ahl ar - Ra'yi



Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Di antara masalah khilafiah tersebut, ada yang menyelesaikannya dengan cara yang mudah dan sederhana berdasarkan akal sehat dan ada pula dengan sikap ta’asubiyah (fanatik yang berlebihan, tidak berdasarkan pada pertimbangan akal sehat dan sebagainya. Dalam sejarah perkembangan hukum Islam perbedaan pendapat (ikhtilaf) mengenai penetapan beberapa masalah hukum telah terjadi di kalangan para sahabat, ini dikarenakan adanya perbedaan paham di antara mereka dan perbedaan nash (sunah) yang sampai kepada mereka. 
Masalah khilafiah dalam fiqh tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kebebasan kepada banyak orang untuk berpendapat. Hal ini yang diharapkan Nabi saw dalam haditsnya اِخْتِلاَفُ اٌمَّتِى رَحْمَة  “perbedaan pendapat (di kalangan) ummatku adalah rahmat”.  Dengan demikian orang bebas memilih salah satu pendapat dari pendapat yang banyak itu, dan tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja. 
 A. Pengertian Ikhtilaf
     Ikhtilaf bersumber dari bahasa Arab yang asal katanya adalah (خَلَفَ- يَخْلِفُ- خِلاَ فًا) yang artinya perbedaan paham (pendapat). Sedangkan menurut istilah ikhtilaf adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap suatu obyek (masalah) tertentu.[1] Dan ada yang mengartikan ikhtilaf adalah perselisihan paham atau pendapat di kalangan para ulama fiqh sebagai hasil ijtihad untuk mendapatkan dan menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu.[2]. Istilah lain untuk ikhtilaf adalah perbedaan pendapat diantara ahli hukum Islam (fuqaha) dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu’iyah, bukan pada masalah hukum Islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok hukum Islam) disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah, dll. Misal, perbedaan pendapat fuqaha‟ tentang hukum wudhu‟ seorang lelaki yang menyentuh perempuan, hukum membaca surat fatihah bagi makmum dalam shalat berjama‟ah, dsb.[1]
       Terhadap perkara ini Allah menegaskan dalam firnan-Nya :
öqs9ur uä!$x© y7/u Ÿ@yèpgm: }¨$¨Z9$# Zp¨Bé& ZoyÏnºur ( Ÿwur tbqä9#ttƒ šúüÏÿÎ=tGøƒèC ÇÊÊÑÈ   žwÎ) `tB zMÏm§ y7/u 4 y7Ï9ºs%Î!ur óOßgs)n=yz 3 ÇÊÊÒÈ  
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka” (Q.S Huud :118-119)
 



      B.  Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf

Terjadinya perbedaan pendapat dalam menteapkan hukum Islam, disamping disebabkan oleh faktor yang bersifat manusiawi, juga oleh faktor lain karena adanya segi khusu yang bertalian dengan agama.
1.        Faktor akhlak, antara lain karena :
a.          Membanggakan diri dan kagum pendapat sendiri
b.         Buruk sangka dan mudah menuduh orang tanpa bukti
c.          Egoisme dan mengikuti hawa nafsu
d.         Fanatik kepada pendapat orang, mazhab atau golongan
e.         Fanatik kepada negeri, daerah, partai, jama’ah atau pemimpin.
2.        Faktor pemikiran, antara lain dikarenakan timbul perbedaan sudut pandang mengenai suatu masalah :
a.         Masalah ilmiah, perbedaan menyangkut cabang syari’at dan beberapa masalah aqidah yang tidak menyentuh prinsip-prinsip pasti.
b.      Masalah alamiah, perbedaan mengenai sikap politik dan pengambilan keputusan atas berbagai masalah, ikhtilaf fiqhi, ikhtilaf fiqriah (perbedaan pandangan mengenai penialaian terhadap sebagian ilmu pengetahuan).
               Menurut Muhammad Abdul Fattah Al- Bayanuni, dalam Dirasat ikhtilaf al-fiqhiyyah, asal mula perbedaan pendapat hukum-hukum fiqh disebabkan timbulnya ijtihad terhadap hukum, terutama pasca Nabi saw dan para sahabat meninggal dunia. Ada dua faktor yang sangat mendasar :
                           1. Kemungkinan yang terkandung dalam nash-nash (Qur’an dan hadis)
                           2. Perbedaan pemahaman ulama
              Diantara kedua faktor tersebut dapat diartikan bahwa apabila nash-nash yang mengandung kemungkinan bertemu dengan akal dan pemahaman yang berbeda maka akan menghasilkan pendapat yang beragam[1]. Adapun sebab terjadinya ikhtilaf menurut Syekh Muhammad al Madany dalam bukunya, Ikhtilaf al-Fuqaha’, membagi sebab- sebab ikhtilaf ke dalam empat macam[2], yaitu :
a.         Pemahaman Al-Quran dan Al- Sunnah 
b.    Sebab-sebab khusus mengenai sunnah Rasulullah 
c.    Perbedaan mengenai Qawa’id Ushuliyyah dan Qawa’id Fiqhiyyah 
d.    Perbedaan penggunaan dalil di luar Al-Qur’an dan Sunnah      

C. Perbedaan Ahlu al-Hadits dan Ahlu ar-Ra’yi  
Fuqaha (ahli-ahli hukum) yang berasal dari berbagai daerah/negeri, dalam berijtihad, biasanya berlandaskan pada pendapat dan ketetapan para sahabat yang tinggal di daerah mereka masing-masing.
Pada masa Tabi’in, umat Islam terpecah kepada tiga kelompok, yaitu: Khawarij, Syi’ah dan Jumhur. Setiap golongan berpegang teguh kepada pendapat masing-masing dan mempertahankannya. Golongan Khawarij misalnya, mereka berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar hukumnya kafir, sementara golongan yang lain  tidak demikian.
Golongan Jumhur dalam menetapkan hukum terbagi menjadi dua golongan:
1)   Ahlu Hadits 
    Golongan ini berkembang di Hijaz. Dalam menetapkan hukum, madzhab ini terikat pada teks-teks Al Qur’an dan Sunnah. Bila dalam menetapkan hukum suatu masalah tidak ditemukan hukumnya dalam nash Al Qur’an dan Sunnah, mereka berpaling kepada praktek dan pendapat sahabat. Mereka menggunakan Ra’yu dalam keadaan sangat terpeksa. Tokoh-tokoh dalam aliran ini yang termasyhur adalah Sa’id Ibn al Musayyab al Mahzumy. Ia dikuti oleh al Zuhry, al Tsaury, Malik, Syafi’i, Ahmad Ibn Hanbal dan Dawud az Zhahiry.[1]
     Sa’id ibn al Musayyab dan kelompoknya berpendapat, bahwa penduduk negeri haramain (Makkah dan Madinah) telah mengukuhkan orang-orang hanya untuk menggunakan hadits dan fiqih dengan menggunakan fatwa-fatwa Rasullullah saw. dan para sahabatnya, sehingga tetap memelihara warisan-warisan yang ada pada mereka, dan ini sudah lebih dari cukup daripada menggunakan Ra’yu (rasio). Lebih mengutamakan menggunakan hadits daripada ra’yu, sekalipun haditsnya tergolong dha’if (lemah)[1]

    (2) Ahlu Ra’yi 
    Golongan ini berkembang di Irak (khususnya wilayah Kuffah dan Bashrah), dengan tokohnya yang terkenal yaitu Ibrahim ibn Yazid al-Nakha’i al-Kuffi.[1] Dalam menetapkan hukum, dengan menggunakan ra’yu, mereka berpendapat bahwa hukum-hukum syari’at memiliki makna logis, mencakupi seluruh kemashlahatan, didasarkan atas pokok-pokok yang muhkam (telah dikukuhkan dan tidak dapat ditafsiri) dan mengandung alasan-alasan yang tepat bagi hukum.
     Dalam menetapkan hukum, madzhab ahli ra’yi ini berdasakan pada beberapa asumsi dasar, antara lain : 
1.  Nash-Nash syari’ah sifatnya terbatas, sedangkan peristiwa-peristiwa hukum selalu baru dan senantiasa berkembang. Oleh sebab itu, terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya, ijtihad didasarkan pada ra’yu.
2.   Setiap hukum syara’ dikaitkan dengan ‘illat tertentu dan ditunjukan untuk tujuan tertentu. Tugas utama seorang fakih ialah menemukan illat ini.[1]
              Mereka mengikuti pola pikir Umar ibn al Kathab, Ali ibn Abi Thalib  dan Ibnu Mas’ud. Ketiganya adalah sahabat Nabi Muhammad saw.yang banyak menggunakan ra’yun dalam menetapkan hukum. Pola pikir mereka inilah yang dikembangkan oleh Alqamah ibn Qais, Al Aswad ibn Yazid al Nakha’iy, Masruq ibn Ajda, Ubaidah ibn ‘Amr, Syuraikh ibn Harits, Harits al A’war  dan Abu Hanifah.
                Faedah dan manfat dari ikhtilaf dapat diperoleh bila dalam berikhtilaf itu berpijak pada ketentuan dan adab yang terkandung di dalamnya. Namun jika ketentuan dan batasan itu dilanggar, maka sudah pasti akan menimbulkan perpecahan. Hal ini akan melahirkan kesulitan dan kejahatan, sehingga dapat mengganggu kehidupan umat. Jika begitu keadaannya, maka ikhtilaf akan berubah menjadi ajang kehancuran.[1]


[1] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, ....., h.71-72
 

[1]Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, ....., h.37
 


[1] Ibid, 167
 


[1] Abbas Arfan, Geneologi Pluralitas Madzhab dalam Hukum Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 166.
 

   

[1] Abbas Arfan, Geneologi Pluralitas Madzhab dalam Hukum Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 166.

[1] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, ....., h.36
 


[1]Marhamah saleh, Ibid
[2] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, ..... h. 58-70
 






 


[1]Marhamah Saleh, Bahan Ajar Kuliah Perbandingan Mazhab, (http://marhamahsaleh.wordpress.com/fiqh-muqaran/03/12/2016 12 :30 pm)  



[1] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Gaung Persada Press,2014), h.54
[2] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Rajawali Pers, 1995) h. 114   


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar