Jumat, 15 April 2016

Hadits (perbandingan orang membaca qur'an dan yang tidak, ilmu yang bermanfaat amal jariah, hiangnya pengetahuan karena orang berilmu, sikap dalam menuntut ilmu)



   Perbandingan orang membaca Al-Qur’an dan tidak membacanya

عَنْ اَبِي مُوْسَى الْأَ شْعَرِى عَنِ النَّبِيِّ صلّى اللهُ عَلَيْهِ وسلّم قَالَ : مَثَلُ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالْأُتْرُجَهِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيْحُهَا طَيِّبٌ وَالَّذِيْ لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَا التَّمْرَةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَلَا رِيْحَ لَهَا وَمَثَلُ الْفَاجِرِ – وَفِي رِوَايَةٍ : الْمُنَافِق-  الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الرَّيْحَانَةِ رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْفَاجِرِ – وَفِي رِوَايَةٍ : الْمُنَافِق- الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ طَعْمُهَا مُرٌّ وَلَا رِيْحَ لَهَا وَفِي رِوَايَةٍ : الْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يَقْرَأُالْقُرْآنَ وَيَعْمَلُ بِهِ ...... وَالْمُؤْمِنُ الَّذِيْ لَايَقْرَأُ ......
 رواه الشيخان وابو داود والترمذى والنسائي [1]
Dari Abi Musa al-Asy’ari dari Nabi Saw bersabda: Perumpamaan mukmin yang membaca al-Qur’an itu seperti buah utrujjah, rasanya enak, baunya harum. Perumpamaan mukmin yang tidak membaca al-Qur’an itu seperti  buah kurma, rasanya manis, tetapi tidak beraroma. Sedangkan perumpamaan orang munafik yang membaca al-Qur’an itu ibarat buah raihanah, baunya harum tetapi rasanya pahit. Dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca al-Qur’an itu ibarat buah hanzholah, rasanya pahit dan baunya tidak harum.   (HR. al-Bukhari Muslim, Abu Daud, al-Turmudzi, dan al-Nasa’i).
Seorang mu`min yang rajin membaca Al-Qur`an adalah seperti buah Al-Atrujah, yaitu buah yang aromanya wangi dan rasanya enak. Karena seorang mu`min itu jiwanya bagus, qalbunya juga baik, dan ia bisa memberikan kebaikan kepada orang lain. Duduk bersamanya terdapat kebaikan. Maka seorang mu`min yang rajin membaca Al-Qur`an adalah baik seluruhnya, baik pada dzatnya dan baik untuk orang lain. Dia seperti buah Al-Atrujah, aromanya wangi dan harum, rasanya pun enak dan lezat.

Adapun seorang mu’min yang tidak membaca Al-Qur`an adalah seperti buah kurma. Rasanya enak namun tidak memiliki aroma yang wangi dan harum. Jadi seorang mu’min yang rajin membaca Al-Qur`an jauh lebih utama dibanding yang tidak membaca Al-Qur`an. Tidak membaca Al-Qur`an artinya tidak mengerti bagaimana membaca Al-Qur`an, dan tidak pula berupaya untuk mempelajarinya.
Perumpamaan seorang munafiq namun ia rajin membaca Al-Qur`an adalah seperti buah Raihanah : aromanya wangi namun rasanya pahit, Sedangkan orang munafiq yang tidak rajin membaca Al-Qur`an, maka diumpamakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam seperti buah Hanzhalah, rasanya pahit dan tidak memiliki aroma wangi. Inilah munafiq yang tidak memiliki kebaikan sama sekali. Tidak memiliki aroma wangi, karena memang ia tidak bisa membaca Al-Qur`an, disamping dzat dan jiwanya adalah dzat dan jiwa yang jelek dan jahat.seorang munafiq yang tidak rajin membaca Al-Qur`an adalah seperti buah Hanzhalah : tidak memiliki aroma dan rasanyapun pahit.[2]
Ilmu yang bermanfaat termasuk amal jariah

Riyadhussalihin: 1383
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : قَلَ رَ سُوْ لُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : اِذَا مَاتَ اِبْنُ آدَمَاِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَ ثٍ: صَدَ قَةٍ جَا رِيَةٍ, اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ, اَوْوَ لَدٍ صَلِحٍ يَدْعُوْ لَهُ, رَوَاهُ مُسْلِم
Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya Rasulullah saw bersabda : “Apabila anak Adam (manusia) itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga yaitu: sedekah jariyah, ilmu  yang  bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya”.(Riwayat Muslim)[3]
Sedekah jariyah adalah sedekah yang kemanfaatannya terus mengalir. Selama ia bermanfaat, selama itu pula pahalanya mengalir kepada orang yang bersedekah itu, walaupun ia telah meninggal.
Sedekah jariyah menurut Imam Al-Suyuti, ada 10 amal yang pahalanya terus menerus mengalir, yaitu : 1) ilmu yang bermanfaat, 2) doa anak sholeh, 3) sedekah jariyah (wakaf), 4) menanam pohon kurma atau pohon-pohon yang buahnya bisa dimanfaatkan, 5) mewakafkan buku, kitab atau Al Qur’an, 6) berjuang dan membela tanah air, 7) membuat sumur,   8)membuat irigasi, 9) membangun tempat penginapan bagi para musafir, 10) membangun tempat ibadah dan belajar.[4]
Seorang mukmin yang berilmu meski telah meninggal dunia pahalanya tidak pernah putus.Yakni ilmu yang bermanfaat yang jika diajarkan kepada orang lain, lalu orang itu mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain, dan demikian seterusnya. Maka sepanjang ilmu itu terus bergulir, diajarkan dari satu generasi kegenerasi berikutnya dan diamalkan, orang yang mengajarkannya akan mendapatkan limpahan pahala yang terus mengalir itu.[5]
Anak sholeh yang mendoakan orang tuanya. Anak di sini tidak terbatas anak keturunan pertama, tetapi juga anak dari anak dan seterusnya. Maka disinilah pentingnya bagi orang tua untuk mendidik putra-putrinya agar menjadi anak-anak yang shalih sehingga mereka mendoakan orang tuanya tatkala orang tuanya telah meninggal. Demikian pula anak-anak itu nantinya mendidik putra-putrinya untuk menjadi shalih dan shalihah lalu mendoakan orang tua dan seterusnya.
Anak yang sholeh bisa anak kandung ataupun anak angkat. Jika kita memelihara anak yatim dengan penuh kasih sayang kita tetap akan dapat pahala jika mereka jadi anak yang saleh dan mendoakan kita.
Tentu saja sedekah jariyah tidak hanya terbatas padahal yang diatas, segala sesuatu yang bisa mendatangkan manfaat bagi masyarakat umum insya Allah pahalanya akan terus mengalir. Dengan demikian kita sebagai manusia, hendaklah bermanfaat bagi orang lain. Karena segala sesuatu yang kita kerjakan, pasti Allah menyaksikannya.
Hilangnya pengetahuan karena meninggalnya orang berilmu

وَعَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عَمْرِبْنِ اْلعَا صِ رَضِيَاللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْ لَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : اِنّ للهَ لاَ يَقْبِضُ الْعلْمَ اِنْتِزَا عًا يَنْتَزِ عُهُ مِنَ النَّاسِ, وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى اِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمًا اِتَّخَذَالنَّاسُ رُءُوْسًاجُهَّالاًفَسُءِلُوْافَاَفْتَوْا بِغَيْرِعِلْمٍ فَضَلُّوْا وَاَضَلُّوْا                                                                                                                                                                                                                                        
“Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash ra. berkata: “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:”Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu pengetahuan begitu saja dari orang-orang  yang memilikinya, tetapi Allah mencabut ilmu dengan matinya orang-orang yang pandai, sehingga bila tidak adalagi orang yang pandai maka orang-orang akan mengangkat orang-orang bodoh untuk menjadi pemimpin, sehingga bila mereka ditanya sesuatu maka mereka menjawabnya tidak berdasarkan ilmu pengetahuan, sehingga mereka sesat dan menyesatkan”(RiwayatBukharidan Muslim).[6]

Hadits di atas menjelaskan bahwa di antara tanda – tanda hari kiamat kelak adalah hilangmya ilmu pengetahuan (terutama ilmu syari’at) dari dunia. Adapun cara hilangnya ilmu tersebut bukan dengan menghilangkan ilmu tersebut dari hati orang yang berilmu. Akan tetapi caranya adalah dengan mencabut nyawa orang yang berilmu, baik secara perorangan ataupun berkelompok, seperti wabah maupun peperangan sehingga tidak tersisas lagi di dunia ini kecuali orang – orang yang bodoh. Setelah habisnya orang berilmu, maka yang terjadi selanjutnya adalah orang – orang akan menjadikan orang yang bodoh sebagai panutan mereka sehingga yang terjadi setelah itu adalah kesesatan dan saling menyesatkan.
Hadits di atas juga memberikan kepada kita beberapa faedah. Yang pertama; keutamaan ilmu dan orang yang berilmu sehingga hilangnya ilmu menjadikan orang – orang menjadi tersesat dan saling menyesatkan. Kedua, makruh hukumnya mengangkat seorang pemimpin yang bodoh. Karena hal tersebut bisa menghancurkan umat karena kebodohannya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa apabila suatu urusan tidak diberikan kepada ahlinya, maka kehancuran tinggallah menunggu waktu. Begitu pula, Allah SWT menjadikan keleluasaan ilmu pengetahuan Thalut sebagai salah satu alasan atas pemilihan Thalut sebagai Raja bagi Bani Israil. Adapun yang terakhir, haram hukumnya memberikan putusan (fatwa) terhadap suatu perkara yang kita tidak tau secara detail akan perkara tersebut. Hendaknya kita juga berhati – hati sebelum memberikan fatwa, Orang alim atau ulama adalah orang yang memahami dan menguasai ilmu Al-Qur’an dan hadits, yang merupakan pedoman hidup umat manusia. Seorang ulama adalah panutan bagi kaumnya, karena baik buruknya sekelompok kaum tergantung ulamanya. Karena ulama adalah pewaris nabi. Sungguh para ulama merupakan pelita bagi umat. Ketika para ulama wafat, saat itulah ilmu hilang karena manusia diibaratkan domba-domba yang dibawa ke padang rumput jika si pengembala meninggal maka domba-domba tersebut akan tersesat dan berpencar karena tidak ada yang menuntunnya. Begitulah keadaan ilmu jika pemiliknya telah tiada. Kecuali jika ilmu itu diamalkan sebaik-baiknya sebagaimana yang diwariskan oleh ulama sebelumnya.
 Ibnu Mas’ud berkata, “ hendaklah kamu sekalian mempunyai banyak ilmu sebelum ilmu tersebut diangkat (hilang) dan hilangnya ilmu itu dengan wafatnya para perawinya (para ulama). Demi zat tempat jiwaku tergenggam, bahwa orang-orang yang mati memperjuangkan agama sebagai syahid sungguh menginginkan dibangkitkan sebagai ulama, karena mereka melihat kemuliaan para ulama.dan tidak seorang manusia pun yang lahir berilmu, sebab ilmu harus dipelajari. [7]

 Sikap yang baik dan yang buruk dalam menuntut ilmu pengetahuan

Lu’lu walmarjan 1405/1712
حَديثُ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بَيْنَمَا هُوَ جَالِسٌ فِي الْمَسْجِدِ، وَالنَّاسُ مَعَهُ، إِذْ أَقْبَلَ ثَلاَثَةُ نَفَرٍ، فَأَقْبَلَ اثْنَانِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَذَهَبَ وَاحِدٌ قَالَ: فَوَقَفَا عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَرَأَى فُرْجَةً فِي الْحَلْقَةِ، فَجَلَسَ فِيهَا وَأَمَّا الآخَرُ فَجَلَسَ خَلْفَهُمْ وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَدْبَرَ ذَاهِبًا فَلَمَّا فَرَغَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكُمْ عَنِ النَّفَرِ الثَّلاَثَةِ أَمَّا أَحَدُهُمْ فَأَوَى إِلَى اللهِ فَآوَاهُ اللهُ؛ وَأَمَّا الآخَرُ فَاسْتَحْيَا فَاسْتَحْيَا اللهُ مِنْهُ؛ وَأَمَّا الآخَرُ فَأَعْرَضَ فَأَعْرَضَ اللهُ عَنْه                                            أخرجه البخاري في : 3 كتاب العلم: 8 باب من قعد حيث ينتهي به المجلس
 Dari Abi Waqad al-Laits, bahwasanya Rasulullah SAW. duduk di masjid bersama sahabat, tiba-tiba datang tiga orang, maka yang dua orang menghadap Rasulullah SAW. sedangkan yang satu pergi, adapun salah satu dari keduanya melihat ada lowongan di tengah majelis maka iapun duduk di tempat tersebut sedang yang lainnya duduk di belakang sedangkan salah satu dari ketiganya telah pergi, maka ketika Rasulullah telah selesai dari nasehatnya, beliau bersabda: ”Maukah kamu aku beritakan kepada kalian tentang tiga orang tersebut? Adapun orang pertama ia ingin mendekat pada Allah maka Allahpun memberi tempat dekat, sedangkan orang kedua ia malu kepada Allah maka Allahpun malu kepadanya dan adapun orang ketiga ia berpaling dari Allah maka Allahpun berpaling darinya”. (HR.Bukhori).
a.       Sikap yang baik dalam menuntut ilmu pengetahuan
Etika Murid Terhadap Dirinya
1.      Berniat ikhlas karena Allah semata
Sebelum memulai pelajaran, siswa harus lebih dahulu membersihkan dirinya dari segala sifat yang buruk karena belajar itu termasuk ibadah yang di terima Allah adalah ibadah yang diterima dengan tulus ikhlas. Oleh karena itu belajar yang diniatkan bukan karena Allah akan sia-sia.
2.      Tidak meninggalkan suatu mata pelajaran sebelum benar-benar menguasainya.
3.      Bersungguh-sungguh dan tekun belajar siang dan malam dengan terlebih dahulu mencari ilmu yang lebih penting
4.      Tawadu’,’iffah,sabar, tabah,wara’,dan tawakal. 
5.      Disiplin dan selektif dalam memilih lingkungan pendidikan.
6.      Tidak menenggelamkan diri pada bidang satu ilmu saja, melainkan harus menguasai ilmu pendukung lainnya.
7.      Hendaknya penuntut ilmu memanfaatkan waktu mudanya dengan menggunakan seluruh waktunya untuk mencari ilmu
8.      Hendaknya seorang penuntut ilmu bersifat qana’ah dalam makanan dan pakaian
9.      Penuntut ilmu hendaklah dapat membagi waktu antara malam dan siang serta selalu memanfaatkan waktu dari umurnya. Karena umur seseorang itu tidak ternilai harganya. Waktu yang paling baik untuk menghafal adalah waktu sahur. Waktu untuk membahas adalah waktu pagi. Waktu untuk menulis adalah tengah hari (siang hari). Dan waktu untuk muthala’ah dan mudzakarah adalah malam hari.
Etika Murid Terhadap Gurunya
1.      Hendaknya murid menghormati guru memuliakan serta mengagungkan karena Allah dan menyenangkan guru dengan hati yang baik.
2.      Bersikap sopan dihadapan guru,serta mencintai guru karena Allah.
3.      Selektif dalam bertanya dan tidak berbicara kecuali setelah mendapat izin dari guru.
Namun jika kita ditanya oleh guru mengenai suatu masalah yang kita tau jawabanya,hendaklah dijawwab sesuai dengan pengetahuan kita karena jawaban kita itu bisa jadi menambah informasi pengetahuan bagi teman kita yang lain.
4.      Mengikuti anjuran dan nasehat guru
5.      Bila berbeda pendapat dengan guru,berdiskusi atau berdebat lakukan dengan cara yang baik.
6.      Jika mrelakukan kesalahan, segeralah mengakuinya dan meminta maaf kepada guru.
7.      Hendaknya murid memilih guru yang tidak hanya betul-betul menguasai bidangnya,tetapi juga mengamalkan ilmunya dan berpegang teguh dengan agamanya.[8]

b.      Etika yang buruk dalam menuntut ilmu
Menurut Imam Ali tidak dianjurkan mencari ilmu untuk 4 tujuan[9]
1.      Mempopulerkan diri di hadapan orang yang berilmu
2.       Berdebat dengan orang bodoh
3.      Pamer diri di depan orang
4.       Menarik perhatian di depan orang untuk menyelamatkan kekuasaan diri
5.      Tidak sombong terhadap sesuatu yang dimilikinya[10] 

Makalah Hadits Tarbawi, (Hadits Tarbawi papers) Islamic Education Department

Faculty of Tarbiya and Teachers Training, State Islamic Syarif Hidayatullah University Jakarta














[1] Abd al-Aziz al-Khuli, al-Adab al-Nabawi,Beirut:Dar al-ma’rifat,1984.hal.204

[3] Drs. Muslich Shabir, MA, Terjemah Riyadhus Shalihin,(Semarang: PT. KaryaToha Putra) h.173  no.8
[5] Ibid                                                                   
[6]Drs. Muslich Shabir, MA, Terjemah Riyadhus Shalihin,(Semarang: PT. KaryaToha Putra) h. 176 no. 17
       [7]http://rumaysho.com/belajar-islam/amalan/3393-terputusnya-amalan-kecuali-tiga-perkara.html. diakses 24-Nopember 2013,pukul 11.00 WIB.

       [8] Prof.Dr.H.Abuddin Nata,MA.Fauzan,MA,Pendidikan dalam Persepektif Islam,(Ciputat Jakarta Selatan,2005),hal.261-264.
       [9] http://www.al-islam.org/nutshell/files/knowledge-id.pdf, diakses 24-Nopember-2013,pukul 20.48 WIB.
       [10]  Prof.Dr.H.Abuddin Nata,MA.Fauzan,MA,Pendidikan dalam Persepektif Islam,(Ciputat Jakarta Selatan,2005),hal.266.

1 komentar: