Rabu, 06 April 2016

Kesadaran Beragama Pada Usia Dewasa



Kesadaran beragama pada usia dewasa merupakan dasar dan arah dari kesiapan seseorang untuk mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan dan penyesuaian diri terhadap rangasangan yang datang dari luar. Semua tingkah laku dalam kehidupannya diwarnai oleh sistem kesadaran keagamaannya.[1]
Kesadaran beragama tersebut tidak hanya melandasi tigkah laku yang tampak, akan tetapi juga mewarnai sikap, pemikiran, iktikad, niat kemauan serta tanggung jawab serta tanggapan-tangapan terhadap nilai-nilai abstrak yang ideal, seperti keadilan, pengorbanan, persatuan, kemerdekaan, perdamaian, dan kebahagaiaan.[2]
Setiap individu pastilah mempunyai sebuah keyakinan atau kepercayaan  masing masing dalam beragama. Keyakinan yang mereka miliki ada kalanya yang merupakan doktrin sejak lahir. Dimana orang tuanya disini sangat berperan penting dalam mempengaruhi keyakinan seorang anak. Anak sejak kecil dididik dan  dilatih  untuk taat dan patuh terhadap Tuhan yang diyakini mereka, menjalankan semua perintah-perintahNya dan menjauhi segala larangan-larangaNya.
Oleh karena itu kesadaran beragama setiap individu telah diperoleh sejak lahir. Pada perkembangannya, kesadaran beragama telah menjadi hal yang mantap dan tetap pada masa ia dewasa. Artinya orang dewasa sudah memilki kepercayaan yang kuat dan kokoh terhadap ajaran agama yang dianutnya, bukan hanya sekedar ikut-ikutan, tapi lebih didasarkan pada pertimbangan secara mendalam menurut akal dan naluri.
Faktor yang mempengaruhi kesadaran beragama pada usia dewasa :
1.      Faktor Internal, terdiri dari :
a.       Tempramen
Tingkah laku yang didasarkan pada sikap beragama seseorang. Sikap dan tingkah lakunya memegang peranan penting dalam kematangan beragama.
b.      Gangguan Jiwa
Orang yang menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalm sikap dan tingkah launya. Tindak- tanduk keagamaan seseorang dan pengalaman beragama yang ditampilkan tergantung pada gangguan jiwa yang mereka rasakan.
c.       Konflik dan keraguan
Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap sesorang terhadap agama yang dianutnya, seperti taat, fanatik agnotis, maupun ateis.
d.      Jauh dari Tuhan
Orang yang hidupnya jauh dari Tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan hidup, terutama saat menghadapi masalah.[1]
2.      Faktor ektern, terdiri dari :
a.       Musibah
Seringkali musibah yang dialami oleh seseorang dapat menimbulkan kesadaran, khususnya kesadaran keberagamaannya. Mereka merasa mendapatkan peringatan dari Tuhan.
b.      Kejahatan
Orang yang hidup dalam kejahatan pada umumnya mengalami guncangan hebat dalam batin dan merasa berdosa. Perasaan tersebut mereka tutupi dengan perbuatan kompensif, seperti meluapkan dengan hidup berfoya-foya dan sebagainya. Dan ada juga melampiaskannya dengan tindakan brutal, pemarah dan lain sebagainya.[2]
            Dengan demikian, kesadaran beragama pada seseorang dipengaruhi oleh hal-hal yang timbul dari dalam dirinya yang mengikuti perkembangan kematangan atau kedewasaan dalam beragama. Kelakuan-kelakuan religiuss pada masa dewasa tidak terlepas dari kebiasaan masa kecil. Oleh karena itu orang tua harus memberikan pemahaman yang mendalam akan pentingnya agama bagi kehidupan anak. Pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman yang betul-betul diyakini sebagai sebuah landasan dalam melaksanakan peran serta tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari.
            Selain faktor yang dipengaruhi dari dalam, ada juga faktor yang dipengaruhi dari luar. Faktor yang dipengarui dari luar biasanya menimbulkan kesadaran untuk bertobat, karena manusia pada umumnya membutuhkan Tuhan sebagai tempat berlindung dan meminta perntolongan apabila sedang ditimpa musibah. Kejadian yang dialami diyakini sebagai bentuk peringatan dari Tuhan, untuk itu timbul kesadaran beragama untuk semakin mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa.
Ciri-ciri sikap beragama pada usia dewasa :
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, sikap keberagamaan pada orang dewasa mempunyai ciri-ciri sebagi berikut :
1.      Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan
2.      Cendrung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3.      Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan
4.      Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realis dari sikap hidup.
5.      Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6.      Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7.      Sikap keberagaman cendrung mengarah kepada tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8.      Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang. [1]
Sikap keberagamaan yang dipilh, akan dipertahankan sebagai identitas dan kepribadian mereka. sikap demikian akan membawa mereka merasa mantap dalam menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Pilihan tersebut didasrkan pada ajaran yang telah memberikan kepuasan batin dan atas dasar pertimbangan akal sehat.
Adapun Dimensi Religiusitas :
Glock dan Stars secara terperinci menyebutkan lima dimensi religiusitas, yaitu:
1.      Dimensi ideologis (ideological dimention), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang menerima halhal yang dogmatik dalam agamanya. Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin tersebut Misalnya kepercayaan terhadap Tuhan, surga, dan neraka.
2.      Dimensi intelektual (intellectual dimention) Yaitu sejauh mana seseorang mengetahui tentang ajaranajaran agamanya, terutama yang ada di dalam kitab suci.
3.      Dimensi ritualitas (ritualistic dimention) Yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajibankewajiban ritual dalam agamanya. Misalnya shalat, zakat, berpuasa, dan haji.
4.      Dimensi pengalaman (experiential dimention) Yaitu perasaanperasaan atau pengalaman pengalaman keagamaan yang pernah dialami dan dirasakan. Dimensi ini mengacu identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari kehari Misalnya perasan dekat dengan Tuhan, merasa dilindungi Tuhan,dan merasa doanya dikabulkan.
5.      Dimensi konsekuensi (consequential dimention) Yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya di dalamkehidupan sosial. Misalnya apakah dia menjenguk temannya yang sakit dan membantu teman yang sedang mengalami kesusahan.[1]










       [1] Jurnal psikologi  Religiusitas dan Psychological WellBeing, mei 2006 VOL.34, NO. 2, h.168

       [1]Ibid, h. 88
 



        [1]Ibid, 95
       [2]ibid, h.96 

      [1]Dr.Sururin,M.Ag,. Ilmu Jiwa Agama (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,2004) h. 86
      [2]Ibid, h. 86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar