Kesadaran beragama pada usia dewasa merupakan
dasar dan arah dari kesiapan seseorang untuk mengadakan tanggapan, reaksi,
pengolahan dan penyesuaian diri terhadap rangasangan yang datang dari luar. Semua tingkah laku dalam kehidupannya diwarnai oleh sistem kesadaran
keagamaannya.[1]
Kesadaran beragama tersebut tidak hanya
melandasi tigkah laku yang tampak, akan tetapi juga mewarnai sikap, pemikiran,
iktikad, niat kemauan serta tanggung jawab serta tanggapan-tangapan terhadap
nilai-nilai abstrak yang ideal, seperti keadilan, pengorbanan, persatuan,
kemerdekaan, perdamaian, dan kebahagaiaan.[2]
Setiap individu pastilah mempunyai sebuah keyakinan atau
kepercayaan masing masing dalam
beragama. Keyakinan yang mereka miliki ada kalanya yang merupakan doktrin sejak
lahir. Dimana orang tuanya disini sangat berperan penting dalam mempengaruhi
keyakinan seorang anak. Anak sejak kecil dididik dan dilatih
untuk taat dan patuh terhadap Tuhan yang diyakini mereka, menjalankan
semua perintah-perintahNya dan menjauhi segala larangan-larangaNya.
Oleh karena itu kesadaran beragama setiap individu telah diperoleh
sejak lahir. Pada perkembangannya, kesadaran beragama telah menjadi hal yang
mantap dan tetap pada masa ia dewasa. Artinya orang dewasa sudah memilki
kepercayaan yang kuat dan kokoh terhadap ajaran agama yang dianutnya, bukan
hanya sekedar ikut-ikutan, tapi lebih didasarkan pada pertimbangan secara
mendalam menurut akal dan naluri.
Faktor yang mempengaruhi kesadaran beragama pada usia dewasa :
1.
Faktor
Internal, terdiri dari :
a.
Tempramen
Tingkah
laku yang didasarkan pada sikap beragama seseorang. Sikap dan tingkah lakunya
memegang peranan penting dalam kematangan beragama.
b.
Gangguan
Jiwa
Orang
yang menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalm sikap dan tingkah
launya. Tindak- tanduk keagamaan seseorang dan pengalaman beragama yang
ditampilkan tergantung pada gangguan jiwa yang mereka rasakan.
c.
Konflik
dan keraguan
Konflik
dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap sesorang terhadap agama yang
dianutnya, seperti taat, fanatik agnotis, maupun ateis.
d.
Jauh
dari Tuhan
Orang
yang hidupnya jauh dari Tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan
hidup, terutama saat menghadapi masalah.[1]
2.
Faktor
ektern, terdiri dari :
a.
Musibah
Seringkali
musibah yang dialami oleh seseorang dapat menimbulkan kesadaran, khususnya
kesadaran keberagamaannya. Mereka merasa mendapatkan peringatan dari Tuhan.
b.
Kejahatan
Orang yang
hidup dalam kejahatan pada umumnya mengalami guncangan hebat dalam batin dan
merasa berdosa. Perasaan tersebut mereka tutupi dengan perbuatan kompensif,
seperti meluapkan dengan hidup berfoya-foya dan sebagainya. Dan ada juga
melampiaskannya dengan tindakan brutal, pemarah dan lain sebagainya.[2]
Dengan demikian,
kesadaran beragama pada seseorang dipengaruhi oleh hal-hal yang timbul dari
dalam dirinya yang mengikuti perkembangan kematangan atau kedewasaan dalam
beragama. Kelakuan-kelakuan religiuss pada masa dewasa tidak terlepas dari
kebiasaan masa kecil. Oleh karena itu orang tua harus memberikan pemahaman yang
mendalam akan pentingnya agama bagi kehidupan anak. Pemahaman yang dimaksud
adalah pemahaman yang betul-betul diyakini sebagai sebuah landasan dalam
melaksanakan peran serta tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari.
Selain faktor yang
dipengaruhi dari dalam, ada juga faktor yang dipengaruhi dari luar. Faktor yang
dipengarui dari luar biasanya menimbulkan kesadaran untuk bertobat, karena
manusia pada umumnya membutuhkan Tuhan sebagai tempat berlindung dan meminta
perntolongan apabila sedang ditimpa musibah. Kejadian yang dialami diyakini
sebagai bentuk peringatan dari Tuhan, untuk itu timbul kesadaran beragama untuk
semakin mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa.
Ciri-ciri sikap beragama pada usia dewasa :
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, sikap keberagamaan
pada orang dewasa mempunyai ciri-ciri sebagi berikut :
1.
Menerima
kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar
ikut-ikutan
2.
Cendrung
bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam
sikap dan tingkah laku.
3.
Bersikap
positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajari
dan memperdalam pemahaman keagamaan
4.
Tingkat
ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga
sikap keberagamaan merupakan realis dari sikap hidup.
5.
Bersikap
lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6.
Bersikap
lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan pikiran, juga
didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7.
Sikap
keberagaman cendrung mengarah kepada tipe kepribadian masing-masing, sehingga
terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta
melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8.
Terlihat
adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga
perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang. [1]
Sikap keberagamaan yang dipilh, akan dipertahankan sebagai
identitas dan kepribadian mereka. sikap demikian akan membawa mereka merasa
mantap dalam menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Pilihan tersebut
didasrkan pada ajaran yang telah memberikan kepuasan batin dan atas dasar
pertimbangan akal sehat.
Adapun Dimensi Religiusitas :
Glock dan Stars secara terperinci
menyebutkan lima dimensi religiusitas, yaitu:
1.
Dimensi
ideologis (ideological dimention), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang
menerima hal‐hal yang dogmatik dalam agamanya. Dimensi ini berisi
pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan
teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin tersebut Misalnya kepercayaan terhadap Tuhan, surga, dan neraka.
2.
Dimensi
intelektual (intellectual dimention) Yaitu sejauh mana seseorang
mengetahui tentang ajaran‐ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam kitab
suci.
3.
Dimensi
ritualitas (ritualistic dimention) Yaitu tingkatan sejauh mana seseorang
mengerjakan kewajiban‐kewajiban ritual dalam agamanya. Misalnya shalat, zakat, berpuasa,
dan haji.
4.
Dimensi
pengalaman (experiential dimention) Yaitu perasaan‐perasaan
atau pengalaman pengalaman keagamaan yang pernah dialami dan dirasakan. Dimensi ini mengacu identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan,
praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari kehari Misalnya
perasan dekat dengan Tuhan, merasa dilindungi Tuhan,dan merasa doanya
dikabulkan.
5.
Dimensi
konsekuensi (consequential dimention) Yaitu dimensi yang mengukur sejauh
mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya di dalamkehidupan
sosial. Misalnya apakah dia menjenguk temannya yang sakit dan membantu teman
yang sedang mengalami kesusahan.[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar