Problematika
masyarakat modern ditunjukkan dengan meningkatnya kontrol diri pada materi
ruang dan waktu sehingga menimbulkan evolusi ekonomi, gaya
hidup, dan pola pikir yang semakin sekuler. Dunia pendidikan juga turut
merasakan dampak dari kemodernan. Semua penemuan teknologi canggih saat ini
mempunyai efek yang tidak terduga. Perkembangan peradaban yang semakin maju
membawa pengaruh yang signifikan, terlihat dari sikap yang ditampilkan dalam
kehidupan keseharian telah jauh dari kepribadian bangsa.
Dampak
globalisasi yang terjadi saat ini, membuat masyarakat Indonesia melupakan
pendidikan karakter bangsa. Padahal, pendidikan karakter merupakan suatu
pondasi bangsa yang sangat penting dan perlu ditanamkan sejak dini kepada
anak-anak. Hal itu karena globalisasi telah membawa kita pada penuhanan materi
sehingga terjadi ketidakseimbangan antara pembangunan ekonomi dan tradisi
kebudayaan masyarakat.[1]
Pupuh
Fathurrohman dalam hal ini menjelaskan “Sejarah telah mencatat bahwa suatu
negara dan bangsa bisa hancur bukan karena ekonomi, bukan karena militernya
lemah, bukan karena tsunami alam yang menimpa, akan tetapi suatu bangsa dan
negara akan hancur karena akhlak dan moral bangsanya telah rusak”.[2]
Adapun kasus
datang dari dunia pendidikan, misalnya baru-baru ini bertepatan dengan Hari
Pendidikan Nasional terjadi peristiwa seorang mahasiswa FKIP (Fakultas Keguruan
Ilmu Pendidikan) yang tega melukai leher dan menebas tangan dosennya sendiri
hingga tewas. Kejadian ini sangatlah miris mengingat dilakukan oleh seseorang
yang berpendidikan tinggi.[3]
Dengan demikian, tidak ada jaminan bahwa semakin tinggi ilmu semakin baik
akhlaknya.
Data
yang bersumber dari mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan
menyebutkan bahwa Indonesia menjadi peringkat 103 dunia, negara yang dunia
pendidikannya diwarnai aksi suap- menyuap dan pungutan liar. Selain itu, Anies
mengatakan, pada Oktober hingga November 2015, angka kekerasan yang melibatkan
siswa di dalam dan luar sekolah di Indonesia mencapai 230 kasus. Kejahatan
terorganisir juga menjadi masalah dalam pendidikan di Indonesia. Bahkan
mengenai kejahatan terorganisir di bidang pendidikan ini Indonesia berada di
peringkat 109 dunia.[4] Informasi tersebut semakin mempertegas bahwa adanya masalah dalam
dunia pendidikan sudah dianggap lazim sehingga menjadi potret buruk pendidikan
Indonesia.
Menurut
Ali Ibrahim Akbar, praktik pendidikan di Indonesia cendrung berorientasi pada
pendidikan berbasis hard skill (keterampilan teknis), yang lebih
mengembangkan pada ranah intelegensi. Sedangkan, kemampuan soft skill
sangat kurang diperhatikan. Dilihat dari pembelajaran sekolah hingga perguruan
tinggi, lebih menekankan pada perolehan nilai ujian. Pandangan ini menilai
bahwa peserta didik dikatakan baik kompetensinya apabila nilai hasil ujiannya
tinggi.[5] Dalam hal ini, pelaksanaan pendidikan belum menyeimbangkan antara
kemampuan soft skill dan hard skill dengan baik dan benar mulai
dari pendidikan dasar hingga ke tingkat pendidikan tinggi.
Pendidikan
nasional belum mampu mencerahkan bangsa ini. Pendidikan kita kehilangan
nilai-nilai luhur kemanusiaan, padahal pendidikan seharusnya memberikan
pencerahan nilai-nilai luhur. Pendidikan nasional telah kehilangan rohnya
lantaran tunduk terhadap pasar bukan pencerahan peserta didik. Pasar tanpa
karakter akan hancur dan akan menghilangkan aspek-aspek manusia dan kemanusiaan,
karena telah kehilangan karakter itu sendiri.[6]
Selain
itu, karakter kependidikan yang berlandaskan pada pendekatan nilai-nilai al-Qur’an
saat ini telah jauh sebagaimana yang diharapkan. Banyak dari pendidik hanya
menonjolkan aspek kemampuan intelektualitas belaka (cognitive domain)
dan meninggalkan nilai-nilai etika (affective domain). Hal ini tidak
sesuai dengan nilai-nilai pendidikan yang diajarkan al-Qur’an yang mengajarkan
keseimbangan dalam segala hal.[7]
Berbicara
mengenai pendidikan nasional, pendidikan Islam menjadi bagian yang tidak
terpisahkan. Meskipun pendidikan Islam di bawah Kementerian Agama Republik
Indonesia, ia tidak pernah terpisahkan dalam kaitannya dengan kebijakan yang
dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, terutama hal-hal yang
substansial. Oleh karena itu, ketika pemerintah mencanangkan pendidikan
karakter bagi perbaikan mutu dan kualitas peradaban bangsa, pendidikan Islam
terlibat dan ikut berpartisipasi secara aktif di dalamnya.[8]
Beberapa
ahli Islam menilai, adanya pergeseran misi dan orientasi pendidikan Islam dalam
institusi pendidikan Islam. Sebagai bagian tak terpisah dari sistem pendidikan
nasional, pendidikan Islam yang semula ditujukan untuk membentuk karakter anak
didik selaku generasi muda yang memiliki tanggung jawab mengemban visi dan masa
depan bangsa, secara metodologis ternyata telah terjebak pada pola pendidikan
satu arah bersifat pengajaran semata.[9]
Dalam konteks
Islam, persoalan pendidikan merupakan masalah manusia yang berhubungan dengan kehidupan baik duniawi maupun
ukhrawi. Dewasa ini, dapat kita saksikan
dalam kehidupan sehari-hari bahwa banyak orang yang kehilangan karakternya sebagaimana manusia. Mereka yang kehilangan
karakternya cenderung perilakunya akan didominasi
oleh nafsu dan kepentingan-kepentingan instan. Meningkatnya intensitas tawuran antar warga, antar pelajar, serta kekerasan dalam
rumah tangga hingga kekerasan terhadap anak, semakin meneguhkan bahwa ada yang
tidak beres dalam karakter bangsa.[10]
Kartadinata
menegaskan bahwa telah terjadi penyempitan makna pendidikan dilihat dari
perspektif penerapannya di lapangan. Pendidikan telah diarahkan untuk membentuk
pribadi cerdas invidual semata dan mengabaikan aspek-aspek spiritualitas yang
dapat membentuk karakter
peserta didik dan karakter bangsa, yang merupakan identitas kolektif, bukan
pribadi.[11]
Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003,
BAB I Pasal 1 menyatakan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[12]
BAB II Pasal 3 undang-undang
Sisdiknas, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.[13]
Sisdiknas telah jelas
menguraikan tujuan pendidikan nasional bukan sekedar membentuk peserta didik
cerdas dalam berilmu tetapi lebih dari itu pendidikan juga berfungsi membangun
karakter, watak, serta kepribadian bangsa. Sehingga nantinya akan lahir
generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas
nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Disadari atau tidak bahwa dengan kondisi
pendidikan sekarang ini, khususnya mengenai pembentukan karakter belum menjadi
prioritas utama dalam implementasinya.
Amanah UU Sisdiknas tahun
2003 menjadikan pembentukan karakter sebagai tujuan dari pendidikan nasional.
Namun dalam pelaksanannya, pendidikan karakter justru dikesampingkan. Dalam
pemikiran guru-guru di sekolah yang penting anak cerdas atau berhasil mencapai
kriteria kelulusan di setiap mata pelajaran, soal baik tidaknya sikap dan
perilaku anak didik tidak menjadi persoalan. Hal ini menggambarkan bahwa mindset
guru harus dirubah.
Pendidikan karakter bukan
hal yang baru dalam sistem pendidikan Islam sebab roh atau inti dari pendidikan
Islam adalah pendidikan karakter yang semula dikenal dengan pendidikan akhlak.[14] Oleh karena itu, kajian pendidikan karakter dalam Islam tidak bisa
dilepaskan dari kajian pendidikan Islam pada umumnya. Konsep pendidikan
karakter sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah Saw, terbukti dari
perintah Allah bahwa misi utama Rasulullah adalah sebagai penyempurna akhlak
bagi umatnya. Pembahasan substansi makna dari karakter sama dengan konsep
akhlak dalam Islam, keduanya membahas tentang perbuatan prilaku manusia.[15]
Kata akhlak berasal dari
bahasa Arab yaitu isim masdar dari akhlaqa,
yukhliqu, ikhlaqon. Yang
berarti kelakuan tabiat, perangai, watak, dasar.[16]
Sedangkan akhlak menurut istilah yang disampaikan Al-Ghazali sebagaimana
dikutip oleh Mahjuddin merupakan suatu sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia),
yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang dilakukan tanpa melalui
maksud untuk memikirkan (lebih lama). Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu
tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan norma agama, dinamakan akhlak
yang baik. Tetapi manakala tindakan yang jahat, maka dinamakan akhlak yang
buruk.[17]
Selain itu, dalam
Ensiklopedi al-Qur’an pengertian akhlak (khuluq) adalah watak yang
diperoleh seseorang dari pergaulannya dengan orang lain atau atas bimbingan
orang tua dan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam proses pendidikan.[18] Al-Qurtuby mengatakan bahwa “Suatu perbuatan manusia yang
bersumber dari adab kesopanannya disebut akhlak, karena perbuatan itu termasuk
bagian dari kejadiannya. Akhlak merupakan bagian dari kejadian manusia yang
dapat mempengaruhi setiap perbuatan manusia”.[19]
Implementasi akhlak dalam
Islam terdapat pada pribadi Rasulullah Saw. Dalam pribadi Rasul, bersemai
nilai-nilai akhlak yang mulia dan agung. Al-Qur’an dalam Q.S Al-Ahzab ayat 21
menyatakan :
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang
banyak mengingat Allah”.[20]
Demikian juga misi diutusnya Nabi Muhammad Saw adalah untuk menyempurnakan akhlak
manusia. Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأِتَمِّمَ
مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
Hadis tersebut menggambarkan bahwa yang menjadi tolak ukur dalam
pembentukan karakter mulia adalah kita harus mencontoh atau meneladani karakter
Nabi Muhammad Saw yang memiliki karakter yang sempurna.
Karakter
atau tabiat manusia merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak
kelahirannya. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral dan sosial serta
etis seseorang. Karakter biasanya erat hubungannya dengan personalitas
(kepribadian) seseorang.[22] Karakter adalah watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak yang
membedakan seseorang dengan orang lain.[23]
Pendidikan
karakter bukan hanya berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan individu secara
akademik dan moral. Pendidikan karakter, jika dilaksanakan dengan baik, akan
dapat membantu individu agar dapat menjalani hidup lebih bahagia dan bermakna.
Kebermaknaan individu akan hidupnya ini dapat meningkatkan perbaikan dan
memberikan kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan.[24]
Selain
itu, pendidikan karakter tidak sekedar memberikan pengertian atau
definisi-definisi tentang yang baik dan yang buruk, melainkan sebagai upaya
mengubah sifat, watak, kepribadian dan keadaan batin manusia sesuai dengan
nilai-nilai yang dianggap luhur dan terpuji.[25]
Oleh
karenanya, melalui pendidikan karakter diharapkan dapat melahirkan manusia yang
memiliki kebebasan menentukan pilihannya tanpa paksaan dan penuh tanggung
jawab. Yaitu manusia-manusia merdeka, dinamis, kreatif, inovatif, dan
bertanggung jawab, baik terhadap Tuhan, manusia, masyarakat, maupun dirinya
sendiri.
Dilihat
dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan
yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi
tanpa ada lagi pemikiran (spontan) karena sudah tertanam dalam pikiran sehingga
melahirkan perbuatan yang bernilai baik terhadap Tuhan, maupun manusia. Dengan
demikian, pendidikan akhlak bisa dikatakan pendidikan karakter dalam tinjauan
pendidikan Islam.
Muhammad
Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa “Pendidikan akhlak adalah ruhnya dalam
pendidikan Islam, dimana para ulama Islam telah sepakat bahwa pendidikan akhlak
adalah ruhnya pendidikan Islam, dan untuk mencapai akhlak yang sempurna itulah
yang menjadi tujuan yang sebenarnya dari pendidikan”.[26]
Tujuan
tertinggi pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku
manusia. Karakter positif ini bersumber dari penghayatan dan pengamalan ajaran
Allah SWT dalam rutinitas kehidupan manusia. Keduanya membutuhkan tindakan
nyata sebagai ekspresi nilai personal yang tidak bisa lepas dari nilai-nilai
spiritualitas, agama, bahkan budaya.[27]
Dengan kata
lain, pendidikan harus mampu mengemban misi pembentukan karakter (character
building) sehingga melahirkan peserta didik yang dapat berpartisipasi dalam
mengisi pembangunan dan berperan sebagai agent of change di masa
sekarang dan masa yang akan datang tanpa mengabaikan ajaran agama dan meninggalkan
karakter mulia.
[3] Mei Leandha, Cekcok Soal Skripsi Mahasiswa Bunuh Dosennya, diakses 2016/05/02
10:45 a.m (http://www.kompas.com)
[10]
Sholeh Hasan, “Analisis
Komparatif Konsep Pendidikan Karakter Perspektif Thomas Lickona dan Al-Zarnuji
serta implikasinya terhdap implikasinya terhadap pendidikan Agama Islam, Makalah
ini disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Serentak Se Indonesia, 2016.
30 Maret. Semarang : Universitas Negeri Semarang 2016, h.779
Tidak ada komentar:
Posting Komentar