Selasa, 03 Mei 2016

Menentukkan Informan pada penelitian kualitatif




Dalam penelitian kualitatif, informan adalah narasumber yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan penelitian. Informan dalam penelitian adalah orang atau pelaku yang benar-benar tahu dan menguasai masalah, serta terlibat lansung dengan masalah penelitian. Informan sangat penting bagi penelitian, karena akan memberikan informasi secara mendalam yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.[1]
 Menentukan informan yang akan digunakan untuk memberikan informasi dalam penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu suatu proses pengambilan sampel dengan menentukan terlebih dahulu jumlah sampel yang hendak diambil. Teknik sampling akan digunakan oleh peneliti jika memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam pengambilan sampelnya. Misal, seorang peneliti ingin meneliti ada tidaknya perbedaan motivasi antara siswa dari etnis Jawa dan Cina. Mengingat subjeknya telah ditentukan sejak awal, peneliti hanya akan menjadikan siswa yang berasal dari dua etnis tersebut sebagai subjek penelitiannya. Siswa dengan etnis berbeda, meskipun dalam satu unit analisis (sekolah), tidak dapat dijadikan sebagai subjek penelitian.[2]
            Pemilihan informan sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah berdasarkan pada asas subyek yang menguasai permasalahan, memiliki data yang memadai dan bersedia memberikan informasi lengkap dan akurat. Informan yang bertindak sebagai sumber data harus informasi harus memenuhi syarat tersebut, yang akan menjadi informan narasumber (key informan).[3]
Selain itu, agar informan dapat menyampaikan informasi yang komprehensif sebagaimana yang diharapkan peneliti, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mewawancarai informan adalah sebagai berikut : 1. Ciptakan suasana wawancara yang kondusif dan tidak tegang, 2). Cari waktu dan tempat yang telah disepakati dengan informan, 3). Mulai pertanyaan dari hal-hal sederhana hingga ke yang serius, 4). Bersikap hormat dan ramah terhadap informan, 5). Tidak menyangkal informasi yang diberikan informan, 6). Tidak menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi yang tidak ada hubungannya dengan  masalah/tema penelitian, 7). Tidak bersifat menggurui terhadap informan, 8). Tidak menanyakan hal-hal yang membuat informan tersinggung atau marah, dan 9.) Ucapkan terima kasih setelah wawancara selesai dan minta disediakan waktu lagi jika ada informasi yang belum lengkap.[4]




[1] https://www.academia.edu//BAB_3_PERSEPSI_AREMANIA/19/03/15/
[2] Ibid
[3] Prof.Dr.Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung:Alfabeta,2013) h. 400
[4]http://mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/materi-kuliah/288-metode-pengumpulan-data-penelitian-kualitatif.html

Pendapat para Imam dalam menerima Hadits Ahad

Menurut jumhur ulama, hadis ahad wajib diamalkan jika memenuhi seperangkat persyaratan makbul. Imam Ahmad, Dawud Azh-Zahiri, Ibn Hazm, dan sebagian muhadditsin berpendapat bahwa hadis ahad memberi faedah ilmu dan wajib diamalkan. Sedangkan Hanafiyah, Asy-Syafi’iyah, dan mayoritas Malikiyah berpendapat bahawa hadis ahad memberikan faedah zhann (dugaan kuat, relative kebenarannya) dan wajib diamalkan. Jadi, semua ulama menerima hadis ahad, tidak ada yang menolak di antara mereka, kecuali jika pada hadis tersebut terdapat kecacatan.[1]
       Imam al-Syafi’i telah mengemukakan pendapat yang lebih konkret dan terurai tentang riwayat hadis yang dapat dijadikan hujah. Dia menyatakan, khabar al-hasanah (hadis ahad) tidak dapat dijadikan hujah kecuali hadis tersebut:
1.      Diriwayatkan oleh para periwayat yang: a. dapat dipercaya pengamalan agamanya, b. dikenal sebagai orang yang jujur dalam menyampaikan berita, c. memahami dengan baik hadis yang diriwayatkan, d. mengetahui perubahan makna hadis bila terjadi perubahan lafaznya, e. mampu menyampaikan riwayat hadis secara lafal, tegasnya, tidak meriwayatkan hadis secara makna, f. terpelihara hafalannya, bila dia meriwayatkan secara hafalan, terpelihara catatannya, bila dia meriwayatkan melalui kitabnya, g. apabila hadis yang diriwayatkannya diriwayatkan juga oleh orang lain, maka bunyi hadis itu tidak berbeda, h. dan terlepas dari perbuatan penyembunyian cacat (tadlis)
2.      Rangkaian sanadnya bersambung sampai kepada Nabi, atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.




       [1] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 155

Kamis, 21 April 2016

(Konsep Belajar, Tipe Belajar Siswa, Fase Belajar, dan Prestasi Belajar)



Pendahuluan
Pada hakikatnya setiap individu itu unik. Setiap individu mempunyai karakteristik yang berbeda dalam belajar, bertingkah laku, bersosialisasi, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa individu dituntut untuk mengenal lingkungannya dan mampu berinteraksi dengan baik. Dalam hal ini lingkungan sekolah memberi pengaruh pada pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat dan sepanjang hidup.
Dari berbagai latar belakang yang dimiliki oleh peserta didik  tidak jarang di setiap kelas dijumpai peserta didik yang bermasalah baik dalam hal interaksi dengan sesama temannya, maupun dalam hal belajar. Masalah yang ditimbulkan bukan saja dalam proses belajar  tetapi juga tingkah lakunya. Peran pendidikan menjadi sangatlah penting untuk membantu dalam mentransfer dan menginternalisasi nilai- nilai.  Pendidikan nilai disini bertujuan untuk membantu peserta didik agar memahami, menyadari, dan mengalami nilai- nilai serta mampu menempatkannya secara integral dalam kehidupan bermasyarakat.
Demikian antara lain kenyataan yang sering kita jumpai pada setiap murid dalam proses belajar mengajar. Setiap individu memang tidak ada yang sama. Perbedaan ini pulalah yang menyebabkan perbedaan tingkah laku belajar murid. Dalam keadaan murid tidak dapat belajar sebagaimana mestinya, itulah yang disebut kesulitan belajar atau masalah siswa dalam proses pembalajaran.
Pengertian belajar
Belajar menurut B.F. Skiner adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif yang terdiri dari suatu peristiwa dimana perilaku terjadi, perilaku itu sendiri, dan akibat perilaku.[1] Fontana dalam Khoir memusatkan belajar dalam tiga hal, yaitu belajar adalah mengubah tingkah laku, perubahan adalah hasil dari pengalaman, dan perubahan terjadi dalam perilaku individu. Jadi, pada hakekatnya belajar adalah segala proses atau usaha yang dilakukan secara sadar, sengaja, aktif, sistematis dan integrative untuk menciptakan perubahan-perubahan dalam dirinya menuju kearah kesempurnaan hidup.[2]
Robert M. Gagne menjelaskan belajar merupakan kegiatan yang kompleks, dan hasil belajar berupa kapabilitas, timbulnya kapabilitas disebabkan oleh stimulasi yang berasal dari lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan pelajar.[3] Robert M. Gagne mengemukakan delapan tipe belajar yang membentuk suatu hirarki dari paling sederhana sampai paling kompleks, yakni :
1.      Belajar tanda-tanda atau isyarat (Signal Learning) yang menimbulkan perasaan tertentu, mengambil sikap tertentu, yang dapat menimbulkan perasaan sedih atau senang.
2.      Belajar hubungan stimulus- respon (Stimulus Response Learning) dimana respons bersifat, tidak umum dan kabur.
3.      Belajar menguasai rantai atau rangakaian hal (Chaining Learning) mengandung asosiasi yang kebanyakan berkaitan dengan keterampilan motorik.
4.      Belajar hubungan verbal atau asosiasi verbal (Chaining Learning Associaton) bersifat asosiatif tingkat tinggi tetapi fungsi nalarlah yang menentukan.
5.      Belajar membedakan atau diskriminasi (Discrimination Learning) yang menghsilkan kemampuan membedakan-bedakan berbagai gejala.
6.      Belajar konsep-konsep (Concept Learning) yaitu corak belajar yang menentukan ciri-ciri yang khas yang ada dan memberikan sifat tertentu pula pada berbagai objek.
7.      Belajar aturan atau hukum-hukum (Rule Learning) dengan cara mengumpulkan sejumlah sifat kejadian yang kemudian dalam macam-macam aturan.
8.      Belajar memecahkan masalah (Problem Solving) menggunakan aturan-aturan yang ada disertai proses analisis dan penyimpulan.[4]
Menurut pandangan Benjamin Bloom, belajar adalah perubahan kualitas kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk meningkatkan taraf hidupnya sebagai pribadi, masyarakat, maupun sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.[5]
Inti dari pembelajaran tersebut adalah interaksi dan proses untuk mengungkapkan ilmu pengetahuan oleh pendidik dan peserta didik yang menghasilkan suatu hasil belajar. Dalam hal ini belajar dapat mengandung makna sebagai perubahan struktural yang saling melengkapi dan meningkatkan kualitas intelektual serta taraf hidup sebagai pribadi. Belajar merupakan suatu proses yang secara sadar dan sengaja untuk dilaksanakan agar mencapai perubahan menuju kearah kesempurnaan hidup.
Prinsip- prinsip belajar
Ada berbagai prinsip belajar yang dikemukakan oleh para ahli psikologi pendidikan terjadi dan diikuti dengan keadaan memuaskan maka hubungan itu diperkuat. Spread of effect yaitu emosional yang mengiringi kepuasan itu tidak terbatas kepada sumber utama pemberi kepuasan tetapi kepuasan mendapat pengetahuan baru. Law of exercise yaitu hubungan antara perangsang dan reaksi yag diperkuat dengan latihan terus menerus dan penguasaan. Law of primacy yaitu hasil belajar yang diperoleh melalui kesan pertama akan sulit digoyahkan. Law of effect yaitu bila hubungan antara stimulus dengan respon terjadi dan diikuti dalam keadaan memuaskan, maka hubungan itu diperkuat. Law of readiness yaitu bila satuan-satuan dalam sistem syaraf telah siap berkonduksi, dan hubungan itu berlangsung, maka terjadi hubungan itu akan memuaskan. Beberapa prinsip atau kaidah dalam proses pembelajaran sebagai hasil eksperimen para ahli psikologi yang berlaku yaitu : motivasi, feedback, response, trial and error.
Fase- fase dalam proses belajar
Menurut Jerome S. Brunner, dalam proses belajar siswa menempuh tiga tahap atau fase, meliputi fase informasi (tahap penerimaan materi), fase transformasi (tahap pengubahan materi), dan fase evaluasi (tahap penilaian materi)
Dalam fase informasi (information), seorang siswa yang sedang belajar memperoleh informasi sejumlah keterangan mengenai materi yang dipelajari. Diantara informasi yang diperoleh itu ada yang sama sekali baru dan berdiri sendiri ada pula yang berfungsi menambah, memperhalus, dan memperdalam pengetahuan yang sebelumnya telah dimiliki.
Pada fase transformasi (transformation), informasi yang telah diperoleh itu dianalisis, diubah, atau, ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual supaya kelak pada gilirannya dapat dimanfaatkan bagi hal-hal yang lebih luas. Bagi siswa pemula, fase ini akan berlangsung lebih mudah apabila disertai dengan bimbingan Anda selaku guru yang diharapkan kompeten dalam mentransfer strategi kognitif yang tepat unuk mempelajari materi pelajaran tertentu.
Sedangkan dalam fase evaluasi (evaluation), seorang siswa akan menilai sendiri sampai sejauh mana pengetahuan(informasi yang telah ditransformasikan tadi) dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain atau memecahkan maslah yang dihadapi.[6] Dari uraian diatas dapat ditegaskan bahwa belajar mengandung makna sebagai segala bentuk aktivitas yang menimbulkan tindakan dan perilaku siswa yang terjadi perubahan secara bertahap.
Prestasi belajar dan faktor-faktornya
Upaya untuk meningkatkan prestasi belajar anak dibutuhkan dukungan orang tua dalam mendampingi anak dalam belajar dirumah guna memudahkan ketika anak menemui hal yang membuat anak tidak mengerti maksud dalam pelajaran yang  sedang mereka pelajari di rumah maupun di sekolahnya. Dalam hal ini orang tua harus memotivasi anaknya untuk belajar dengan sebaik-baiknya agar mencapai prestasi dengan memberikan predikat terpuji dan dalam bentuk hadiah.
Faktor- faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat kita bedakan menjadi tiga macam, yakni :
a.       Faktor internal siswa
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat mempengaruhi hasil belajar individu. Faktor internal meliputi faktor fisiologis dan psikologis. Faktor fisiologis terdiri dari keadaan jasmani dan rohani siswa. Keadaan jasmani dan rohani harus tetap sehat dan bugar karena sangat berpengaruh terhadap aktivitas belajar seseorang. Sebaliknya, kondisi fisik yang lemah atau sakit akan menghambat tercapainya hasil belajar yang maksimal. Faktor psikologis adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat mempengaruhi proses belajar berupa kecerdasan siswa, motivasi, minat, sikap dan bakat.
b.         Faktor eksternal siswa
      Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar siswa yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa. Dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu faktor dari lingkungan sosial dan  lingkungan non sosial. Lingkungan sosial meliputi keluarga, guru dan staf, masyarakat, teman. Sedangkan lingkungan non sosial meliputi rumah, sekolah, peralatan, dan alam.
c.         Pendekatan belajar siswa
      Pendekatan belajar siswa (approach learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan mempelajari materi-materi pelajaran. Strategi yang digunakan siswa harus dapat menunjang efektifitas dan efisiensi proses belajar materi tertentu.[7]
Ciri-ciri Tipe Belajar Siswa
1.      Tipe belajar visual
Visual menurut kamus bahasa Indonesia yang berarti dapat dilihat dengan mata. Berarti gaya belajar visual merupakan gaya belajar dengan cara melihat. Bagi siswa dengan gaya belajar visual, peranan pentingntya adalah mata atau penglihtan (visual), pada tipe ini sisiwa mudah mencerna informasi atau pelajaran yang disampaikan melalui pendekatan demonstrasi, model, gambar, cd pembelajaran, dsb. Tipe visual lebih mudah belajar dengan menggunakan tulisan, membaca, dan melihat.[8]
Menurut Bobbi De Porter dan Mike Hernacki, ciri-ciri siswa dengan gaya  belajar visual, adalah :
1.      Rapi dan teratur.
2.      Berbicara dengan cepat.
3.      Perencanaan dan pengaturan jangka panjang yang baik.
4.      Mementingkan penampilan, baik dalam hal pakaian maupun presentasi.
5.      Pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka.
6.      Mengingat apa yang dilihat dan didengar.
7.      Mengingat dengan asosiasi visual.
8.      Biasanya tidak terganggu oleh keributan.
9.      Mempunyai masalah untuk mengungat instruksi verbal kecuali jika ditulis, dan seringkali minta bantuan orang untuk mengulanginya.
10.  Pembaca cepat dan tekun.
11.  Lebih suka mebaca dari pada dibacakan.
12.  Membutuhkan pandangan dan tujuan yang menyeluruh dan bersikap waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang suatu masalah atau proyek.
13.  Mencoret-coret tanpa arti selama berbicara di telpon dan dalam rapat.
14.  Lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain.
15.  Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat ya atau tidak.
16.  Lebih suka seni daripada musik.[9]

2.      Tipe belajar auditif
Siswa yang bertipe auditif mengandalkan kesuksesan belajarnya melalui telinga(alat pendengarannya). Anak yang mempunyai tipe belajar seperti ini dapat belajar lebih banyak untuk menyerap informasi dan pengetahuan melalui pendengarannya. Artinya anak harus mendengar, baru kemudian bisa mengingat dan memahami informasi yang diterimanya.
Berikut ini ciri-ciri tipe belajar auditif menurut Bobbi De Porter dan Mike Hernacki, adalah:
1.      Saat bekerja suka berbicara kepada diri sendiri.
2.      Penampilan rapi.
3.      Mudah terganggu oleh keributan.
4.      Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada yang dilihat.
5.      Senang membaca dengan keras dan mendengarkan.
6.      Menggerakan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca.
7.      Biasanya ia pembicara yang fasih.
8.      Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya.
9.      Lebih suka gurauan lisan daripada baca komik.
10.  Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan visual, seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain.
11.  Berbicara dalam irama yang terpola.
12.  Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, berirama, dan warna suara.[10]

3.      Tipe belajar kinestetik
Anak yang mempunyai gaya belajar kinestetik belajarnya melalui bergerak, menyentuh, dan melakukan. Anak seperti ini sulit untuk duduk diam berjam-jam, karena keinginan mereka untuk beraktifitas dan ekspolarasi sangatlah kuat.
Ciri-ciri tipe belajar kinestetik :
1.          Berbicara perlahan.
2.          Penampilan rapi.
3.          Tidak mudah terganggu dengan situasi keributan.
4.          Belajar melalui manipulasi dan praktek.
5.          Mengahafal dengan cara berjalan dan melihat.
6.          Menggunakan jari ketika menunjuk dan membaca.
7.          Merasa kesulitan untuk menulis tetapi hebat dalam bercerita.
8.         Menyukai buku-buku dan mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca.
9.         Menyukai permaianan yang menyibukkan.
10.     Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang pernah berada di tempat itu.
11.     Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka dengan menggunakan kata-kata yang mengandung aksi.
Tipe belajar kinestetik meliputi, tipe belajar Taktil (rabaan atau sentuhan). Siswa yang seperti ini penyerapan hasil pendidikannya melalui alat peraba yaitu tangan atau kulit. Tipe belajar Olfaktoris dimana peserta didik dapat menerima informasi dengan indera pencium yang lebih dominan. Tipe belajar Gustative dimana peserta didik dapat menerima informasi dengan indera pengecap yang lebih dominan serpa sebuah sensasi rasa yang berhubungan dengan pengecapan. Tipe belajar Kombinatif adalah siswa yang dapat dan mampu mengikuti pelajaran dengan menggunakan lebih dari satu alat indera. [11]
Dengan mengenali ciri-ciri tipe belajar siswa di atas, maka guru akan dapat memperhatikan situasi belajar yang perlu diciptakan untuk menjadikan siswa dengan modalitas yang berbeda dan nyaman untuk menerima pelajaran. Hal ini adalah modal utama bagi seorang guru yang harus mengenal keberagaman siswa dengan tipe belajar siswa. Untuk itu maka, guru diharapkan mampu menghidupkan kondisi kelas agar dapat terciptanya kegiatan belajar yang bermakna. Karena kondisi belajar yang baik akan sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar siswa.



[1] Faturrahman, dkk. Pengantar Pendidikan (Jakarta:PT. Prestasi Pustakarya) h. 7
[2] Sadiman, dkk. Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. h.2
[3] Faturrahman, dkk.Pengantar Pendidikan (Jakarta:PT. Prestasi Pustakarya) h.8
[4] Ibid, h. 9
[5] Ibid h. 10
[6] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru( Bandung : PT. Remaja Rosdakarya) h.111
[7] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru( Bandung : PT. Remaja Rosdakarya) h. 129
[8] Sugiarto, Pembelajaran Kognitif, Kajian Teoritik dan Penemuan Empirik (Jakarta: Reksa Budaya) h.50
[9] Bobbi De Porter dan Hercaki,Quantum Teaching,terj,Ary Nilandasri (Bandung:Kaifa) h. 116
[10] Ibid, h.117
[11] Ibid, h. 118