Pendahuluan
Pada hakikatnya setiap individu itu unik.
Setiap individu mempunyai karakteristik yang berbeda dalam belajar, bertingkah
laku, bersosialisasi, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa individu dituntut
untuk mengenal lingkungannya dan mampu berinteraksi dengan baik. Dalam hal ini
lingkungan sekolah memberi pengaruh pada pertumbuhan individu sebagai pengalaman
belajar yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat dan sepanjang hidup.
Dari berbagai latar belakang yang dimiliki oleh
peserta didik tidak jarang di setiap
kelas dijumpai peserta didik yang bermasalah baik dalam hal interaksi dengan
sesama temannya, maupun dalam hal belajar. Masalah yang ditimbulkan bukan saja
dalam proses belajar tetapi juga tingkah
lakunya. Peran pendidikan menjadi sangatlah penting untuk membantu dalam
mentransfer dan menginternalisasi nilai- nilai.
Pendidikan nilai disini bertujuan untuk membantu peserta didik agar
memahami, menyadari, dan mengalami nilai- nilai serta mampu menempatkannya
secara integral dalam kehidupan bermasyarakat.
Demikian antara lain kenyataan yang sering kita
jumpai pada setiap murid dalam proses belajar mengajar. Setiap individu memang
tidak ada yang sama. Perbedaan ini pulalah yang menyebabkan perbedaan tingkah
laku belajar murid. Dalam keadaan murid tidak dapat belajar sebagaimana
mestinya, itulah yang disebut kesulitan belajar atau masalah siswa dalam proses
pembalajaran.
Pengertian
belajar
Belajar menurut B.F. Skiner adalah suatu proses
adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif yang
terdiri dari suatu peristiwa dimana perilaku terjadi, perilaku itu sendiri, dan
akibat perilaku.[1]
Fontana dalam Khoir memusatkan belajar dalam tiga hal, yaitu belajar adalah
mengubah tingkah laku, perubahan adalah hasil dari pengalaman, dan perubahan
terjadi dalam perilaku individu. Jadi, pada hakekatnya belajar adalah segala
proses atau usaha yang dilakukan secara sadar, sengaja, aktif, sistematis dan
integrative untuk menciptakan perubahan-perubahan dalam dirinya menuju kearah
kesempurnaan hidup.[2]
Robert M. Gagne menjelaskan belajar merupakan
kegiatan yang kompleks, dan hasil belajar berupa kapabilitas, timbulnya
kapabilitas disebabkan oleh stimulasi yang berasal dari lingkungan dan proses
kognitif yang dilakukan pelajar.[3]
Robert M. Gagne mengemukakan delapan tipe belajar yang membentuk suatu hirarki
dari paling sederhana sampai paling kompleks, yakni :
1.
Belajar tanda-tanda atau isyarat (Signal
Learning) yang menimbulkan perasaan tertentu, mengambil sikap tertentu,
yang dapat menimbulkan perasaan sedih atau senang.
2.
Belajar hubungan stimulus- respon (Stimulus
Response Learning) dimana respons bersifat, tidak umum dan kabur.
3.
Belajar menguasai rantai atau rangakaian hal (Chaining
Learning) mengandung asosiasi yang kebanyakan berkaitan dengan keterampilan
motorik.
4.
Belajar hubungan verbal atau asosiasi verbal (Chaining
Learning Associaton) bersifat asosiatif tingkat tinggi tetapi fungsi
nalarlah yang menentukan.
5.
Belajar membedakan atau diskriminasi (Discrimination
Learning) yang menghsilkan kemampuan membedakan-bedakan berbagai gejala.
6.
Belajar konsep-konsep (Concept Learning)
yaitu corak belajar yang menentukan ciri-ciri yang khas yang ada dan memberikan
sifat tertentu pula pada berbagai objek.
7.
Belajar aturan atau hukum-hukum (Rule
Learning) dengan cara mengumpulkan sejumlah sifat kejadian yang kemudian
dalam macam-macam aturan.
8.
Belajar memecahkan masalah (Problem Solving)
menggunakan aturan-aturan yang ada disertai proses analisis dan penyimpulan.[4]
Menurut pandangan Benjamin Bloom, belajar
adalah perubahan kualitas kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk
meningkatkan taraf hidupnya sebagai pribadi, masyarakat, maupun sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa.[5]
Inti dari pembelajaran tersebut adalah
interaksi dan proses untuk mengungkapkan ilmu pengetahuan oleh pendidik dan
peserta didik yang menghasilkan suatu hasil belajar. Dalam hal ini belajar
dapat mengandung makna sebagai perubahan struktural yang saling melengkapi dan
meningkatkan kualitas intelektual serta taraf hidup sebagai pribadi. Belajar
merupakan suatu proses yang secara sadar dan sengaja untuk dilaksanakan agar
mencapai perubahan menuju kearah kesempurnaan hidup.
Prinsip-
prinsip belajar
Ada berbagai prinsip belajar yang dikemukakan
oleh para ahli psikologi pendidikan terjadi dan diikuti dengan keadaan
memuaskan maka hubungan itu diperkuat. Spread of effect yaitu emosional
yang mengiringi kepuasan itu tidak terbatas kepada sumber utama pemberi
kepuasan tetapi kepuasan mendapat pengetahuan baru. Law of exercise yaitu
hubungan antara perangsang dan reaksi yag diperkuat dengan latihan terus
menerus dan penguasaan. Law of primacy yaitu hasil belajar yang
diperoleh melalui kesan pertama akan sulit digoyahkan. Law of effect yaitu bila hubungan antara stimulus dengan respon terjadi dan
diikuti dalam keadaan
memuaskan, maka hubungan itu diperkuat. Law of readiness yaitu bila
satuan-satuan dalam sistem syaraf telah siap berkonduksi, dan hubungan itu
berlangsung, maka terjadi hubungan itu akan memuaskan. Beberapa
prinsip atau kaidah dalam proses pembelajaran sebagai hasil eksperimen para
ahli psikologi yang berlaku yaitu : motivasi, feedback, response,
trial and error.
Fase- fase
dalam proses belajar
Menurut Jerome S. Brunner, dalam proses belajar
siswa menempuh tiga tahap atau fase, meliputi fase informasi (tahap penerimaan materi), fase
transformasi (tahap pengubahan materi), dan
fase evaluasi
(tahap penilaian materi)
Dalam fase informasi (information),
seorang siswa yang sedang belajar memperoleh informasi sejumlah keterangan
mengenai materi yang dipelajari. Diantara informasi yang diperoleh itu ada yang
sama sekali baru dan berdiri sendiri ada pula yang berfungsi menambah,
memperhalus, dan memperdalam pengetahuan yang sebelumnya telah dimiliki.
Pada fase transformasi (transformation),
informasi yang telah diperoleh itu dianalisis, diubah, atau, ditransformasikan
menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual supaya kelak pada gilirannya dapat
dimanfaatkan bagi hal-hal yang lebih luas. Bagi siswa pemula, fase ini akan
berlangsung lebih mudah apabila disertai dengan bimbingan Anda selaku guru yang
diharapkan kompeten dalam mentransfer strategi kognitif yang tepat unuk
mempelajari materi pelajaran tertentu.
Sedangkan dalam fase
evaluasi (evaluation), seorang siswa akan menilai sendiri sampai sejauh
mana pengetahuan(informasi yang telah ditransformasikan tadi) dapat
dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain atau memecahkan maslah yang
dihadapi.[6] Dari
uraian diatas dapat ditegaskan bahwa belajar mengandung makna sebagai segala
bentuk aktivitas yang menimbulkan tindakan dan perilaku siswa yang terjadi
perubahan secara bertahap.
Prestasi
belajar dan faktor-faktornya
Upaya untuk meningkatkan prestasi belajar anak
dibutuhkan dukungan orang tua dalam mendampingi anak dalam belajar dirumah guna
memudahkan ketika anak menemui hal yang membuat anak tidak mengerti maksud
dalam pelajaran yang sedang mereka
pelajari di rumah maupun di sekolahnya. Dalam hal ini orang tua harus
memotivasi anaknya untuk belajar dengan sebaik-baiknya agar mencapai prestasi
dengan memberikan predikat terpuji dan dalam bentuk hadiah.
Faktor- faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar siswa dapat kita bedakan menjadi tiga macam, yakni :
a.
Faktor internal siswa
Faktor internal
adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat mempengaruhi
hasil belajar individu. Faktor internal meliputi faktor fisiologis dan
psikologis. Faktor fisiologis terdiri dari keadaan jasmani dan rohani siswa.
Keadaan jasmani dan rohani harus tetap sehat dan bugar karena sangat
berpengaruh terhadap aktivitas belajar seseorang. Sebaliknya, kondisi fisik
yang lemah atau sakit akan menghambat tercapainya hasil belajar yang maksimal.
Faktor psikologis adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat mempengaruhi
proses belajar berupa kecerdasan siswa, motivasi, minat, sikap dan bakat.
b.
Faktor eksternal siswa
Faktor
eksternal adalah faktor yang berasal dari luar siswa yakni kondisi lingkungan
di sekitar siswa. Dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu faktor dari
lingkungan sosial dan lingkungan non
sosial. Lingkungan sosial meliputi keluarga, guru dan staf, masyarakat, teman.
Sedangkan lingkungan non sosial meliputi rumah, sekolah, peralatan, dan alam.
c.
Pendekatan belajar siswa
Pendekatan
belajar siswa (approach learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang
meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan
mempelajari materi-materi pelajaran. Strategi yang digunakan siswa harus dapat
menunjang efektifitas dan efisiensi proses belajar materi tertentu.[7]
Ciri-ciri Tipe
Belajar Siswa
1.
Tipe belajar visual
Visual menurut kamus bahasa Indonesia yang
berarti dapat dilihat dengan mata. Berarti gaya belajar visual merupakan gaya
belajar dengan cara melihat. Bagi siswa dengan gaya belajar visual, peranan pentingntya
adalah mata atau penglihtan (visual), pada tipe ini sisiwa mudah mencerna
informasi atau pelajaran yang disampaikan melalui pendekatan demonstrasi,
model, gambar, cd pembelajaran, dsb. Tipe visual lebih mudah belajar dengan
menggunakan tulisan, membaca, dan melihat.[8]
Menurut Bobbi De Porter dan Mike Hernacki,
ciri-ciri siswa dengan gaya belajar
visual, adalah :
1.
Rapi dan teratur.
2.
Berbicara dengan cepat.
3.
Perencanaan dan pengaturan jangka panjang yang
baik.
4.
Mementingkan penampilan, baik dalam hal pakaian
maupun presentasi.
5.
Pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata
yang sebenarnya dalam pikiran mereka.
6.
Mengingat apa yang dilihat dan didengar.
7.
Mengingat dengan asosiasi visual.
8.
Biasanya tidak terganggu oleh keributan.
9.
Mempunyai masalah untuk mengungat instruksi
verbal kecuali jika ditulis, dan seringkali minta bantuan orang untuk
mengulanginya.
10.
Pembaca cepat dan tekun.
11.
Lebih suka mebaca dari pada dibacakan.
12.
Membutuhkan pandangan dan tujuan yang
menyeluruh dan bersikap waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang
suatu masalah atau proyek.
13.
Mencoret-coret tanpa arti selama berbicara di
telpon dan dalam rapat.
14.
Lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang
lain.
15.
Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban
singkat ya atau tidak.
16.
Lebih suka seni daripada musik.[9]
2.
Tipe belajar auditif
Siswa
yang bertipe auditif mengandalkan kesuksesan belajarnya melalui telinga(alat
pendengarannya). Anak yang mempunyai tipe belajar seperti ini dapat belajar
lebih banyak untuk menyerap informasi dan pengetahuan melalui pendengarannya.
Artinya anak harus mendengar, baru kemudian bisa mengingat dan memahami
informasi yang diterimanya.
Berikut ini ciri-ciri tipe belajar auditif
menurut Bobbi De Porter dan Mike Hernacki, adalah:
1.
Saat bekerja suka berbicara kepada diri
sendiri.
2.
Penampilan rapi.
3.
Mudah terganggu oleh keributan.
4.
Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa
yang didiskusikan daripada yang dilihat.
5.
Senang membaca dengan keras dan mendengarkan.
6.
Menggerakan bibir mereka dan mengucapkan
tulisan di buku ketika membaca.
7.
Biasanya ia pembicara yang fasih.
8.
Lebih pandai mengeja dengan keras daripada
menuliskannya.
9.
Lebih suka gurauan lisan daripada baca komik.
10.
Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan
yang melibatkan visual, seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama
lain.
11.
Berbicara dalam irama yang terpola.
12.
Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada,
berirama, dan warna suara.[10]
3.
Tipe belajar kinestetik
Anak yang mempunyai gaya belajar kinestetik
belajarnya melalui bergerak, menyentuh, dan melakukan. Anak seperti ini sulit
untuk duduk diam berjam-jam, karena keinginan mereka untuk beraktifitas dan
ekspolarasi sangatlah kuat.
Ciri-ciri tipe belajar kinestetik :
1.
Berbicara perlahan.
2.
Penampilan rapi.
3.
Tidak mudah terganggu dengan situasi keributan.
4.
Belajar melalui manipulasi dan praktek.
5.
Mengahafal dengan cara berjalan dan melihat.
6.
Menggunakan jari ketika menunjuk dan membaca.
7.
Merasa kesulitan untuk menulis tetapi hebat
dalam bercerita.
8.
Menyukai buku-buku dan mereka mencerminkan aksi
dengan gerakan tubuh saat membaca.
9.
Menyukai permaianan yang menyibukkan.
10.
Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika
mereka memang pernah berada di tempat itu.
11.
Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian
mereka dengan menggunakan kata-kata yang mengandung aksi.
Tipe belajar kinestetik meliputi, tipe belajar
Taktil (rabaan atau sentuhan). Siswa yang seperti ini penyerapan hasil
pendidikannya melalui alat peraba yaitu tangan atau kulit. Tipe belajar
Olfaktoris dimana peserta didik dapat menerima informasi dengan indera pencium
yang lebih dominan. Tipe belajar Gustative dimana peserta didik dapat menerima
informasi dengan indera pengecap yang lebih dominan serpa sebuah sensasi rasa
yang berhubungan dengan pengecapan. Tipe belajar Kombinatif adalah siswa yang
dapat dan mampu mengikuti pelajaran dengan menggunakan lebih dari satu alat
indera. [11]
Dengan mengenali ciri-ciri tipe belajar siswa
di atas, maka guru akan dapat memperhatikan situasi belajar yang perlu
diciptakan untuk menjadikan siswa dengan modalitas yang berbeda dan nyaman
untuk menerima pelajaran. Hal ini adalah modal utama bagi seorang guru yang
harus mengenal keberagaman siswa dengan tipe belajar siswa. Untuk itu maka,
guru diharapkan mampu menghidupkan kondisi kelas agar dapat terciptanya kegiatan
belajar yang bermakna. Karena kondisi belajar yang baik akan sangat berpengaruh
terhadap proses dan hasil belajar siswa.
[1] Faturrahman,
dkk. Pengantar Pendidikan (Jakarta:PT. Prestasi Pustakarya) h. 7
[2] Sadiman, dkk. Media
Pendidikan, Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. h.2
[3] Faturrahman,
dkk.Pengantar Pendidikan (Jakarta:PT. Prestasi Pustakarya) h.8
[4] Ibid, h. 9
[5] Ibid h. 10
[6] Muhibbin Syah,
Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru( Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya)
h.111
[7] Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan dengan Pendekatan Baru( Bandung : PT. Remaja Rosdakarya) h. 129
[8] Sugiarto, Pembelajaran
Kognitif, Kajian Teoritik dan Penemuan Empirik (Jakarta: Reksa Budaya) h.50
[9] Bobbi De Porter
dan Hercaki,Quantum Teaching,terj,Ary Nilandasri (Bandung:Kaifa) h. 116
[10] Ibid, h.117
[11] Ibid,
h. 118