Minggu, 29 Januari 2017

Sistem Pemerintahan Indonesia Yang Berkedaulatan



Indonesia adalah negara persatuan yang berbentuk Republik, dimana kedaulatan berada ditangna rakyat dan dijadikan sepenuhnya oleh Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, dimana Presien berkedudukan sebagai kepada negara sekaligus kepala pemerintahan.
Sistem politik Indonesia adalah sebuah sistem politik demokratis yang bersendikan nilai-nilai local (local value) bangsa indonesia yaitu Pancasila. Karakteristik sistem politik Indonesia adalah kedaulatan rakyat, pelaksanaan kedaulatan melalui sistem perwakilan. Sistem politik Indonesia bersumber dari dasar (Falsafah) negara Pancasila falsafah dasar negara Indonesia.
Secara umum sistem pemerintahan yang kita kenal ada 3 yaitu, sistem pemerintahan presidensial, sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan campuran.
v  Sistem pemerintahn presidensial merupakan sistem pemerintahn dimana kepala pemerintahan dipegang oleh presiden dan pemerintah tdak bertangung jawab kepada parlemen (legislatif). Mentri bertaggung jawab teradap preide, Karena presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
v  Sistem pemerintahan parlementer merupakan sustu sistem pemerintah dimana pemerintah (eksekutif) beratnggung jawab terhadap parlemen.  Dalam sistem pemerintahn ini, parlemen mempunyai kekuasaan yang besar dan mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasanterhadap eksekutif. Mentri dan perdana mentri beratngung jawab terhadap parlemen.
v  Sistem pemerintahan campuran, sistem pemerintahan ini diambil hal-hal yang terabik dari sistem pemerintahan prsidensial dan sistem pemerintahan parlemen.
Sistem yang digunakan di Indonesia saat ini demokrasi, suatu sistem yang diciptakan oleh barat. Yang dirancang berdasarkan perkiraan-perkiraan yang menurut nya baik. Para Bapak Bangsa (The Founding Father)  yang meletakan dasar pembentukan negara Indonesia, setelah terciptanya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka sepakart menyatukan rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan budaya yang tersebar diribuan pulau besar dan kecil, dibawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Indonesia pernah menjalani sistem federal dibawah Republik Indonesia Serikat (RIS) selama tujuh bulan  (27 Desenber 1949 – 17 Agustus 1950) namun kembali kebentuk pemerintahan Republik. Setelah jatuhnya orde baru (1996-1997) pemerintah merespon desain daerah-daerah terhadap sistem pemerintahan yang bersifat sangat sentalistis, dengan menawarkan konsep otonomi daerah untuk mewujudkan desentalisasi kekuasaan.
Sistem politik orde baru menjadi berkembang dan untuk waktu lama dapat dipertahankan terutama karena tiadanya civil society yang kuat. Dianatara banyak masalah yang dihadapi oleh civil society di Indonesia, tiadanya partai-partai politik yang berakar barangkali adalah masalah yang serius, tiadanya partai politik yang efektif di Indonesia telah mengakibatkan berbagai kesulitan yang luar biasa untuk melembagakan sebuah pola perubahan yang secara politik tidak saja terlembaga namun juga demokratis. Undang-undang dasar 1945 yang telah diamandmen selama periode parlemen 1999-2004 yang dihasilkan oleh pemilu 1999 mengubah banyak aspek dari hubungan tata-kenegaraan kita. Perubahan yang terjadi itu ditandai oleh beberapa hal, diantaranya yang penting adalah Pertama, parlemen terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kedaua, seluruh anggota parlemen dipilih melalui pemilu yang berimplikasi pada diakhirinya sistem pengangkatan dan penunjukan anggota TNI/Polri dan perwakilan utusan golongan sebagai anggota parlemen. Ketiga, Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Keempat, dibentunya lembaga independen penyelenggara pemilu yang bebas dari pengaruh pemerintah. Kelima, pembentukan mahkamah konstitusi yang diantaranya memiliki kewenangan judicial review. Keenam, hadirnya sisrem kepartaian jamak (multiparty system). Masih bnyak yang dapat ditmbahkan, antarnya adalah, konstitusi baru yang memberikan dasar yang kuat pada pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, media social, dan otonomi yang luas bagi daerah-daerah Indonesia.
Fenomena politik yang terlalu menekankan pertimbangan ekonomi yang konskuensinya menjadi sangat tergantung pada bantuan luar dan modal asing memotori munculnya reaksi politik dari kelompok-kelompok intelektual dan mahasiswa dengan membentuk LSM  atau organisasi volunteer non pemerintahan (POV’S) yang sama-sama mendukung dan mempromosikan peran masyarakat yang didasarkan pada gerakan suadaya pada tingkat akar rumput (grass roots) dengan tigga prinsip utama: partisipasi, otonomi an suadaya. Peran organisasi-organisasi ini relatif independen yang kemungkinan karena dukungan LSM atau POV’S internasional.

Pendidikan Karakter Adalah Pendidikan Akhlak



Problematika masyarakat modern ditunjukkan dengan meningkatnya kontrol diri pada materi ruang dan waktu sehingga menimbulkan evolusi ekonomi, gaya hidup, dan pola pikir yang semakin sekuler. Dunia pendidikan juga turut merasakan dampak dari kemodernan. Semua penemuan teknologi canggih saat ini mempunyai efek yang tidak terduga. Perkembangan peradaban yang semakin maju membawa pengaruh yang signifikan, terlihat dari sikap yang ditampilkan dalam kehidupan keseharian telah jauh dari kepribadian bangsa.
Dampak globalisasi yang terjadi saat ini, membuat masyarakat Indonesia melupakan pendidikan karakter bangsa. Padahal, pendidikan karakter merupakan suatu pondasi bangsa yang sangat penting dan perlu ditanamkan sejak dini kepada anak-anak. Hal itu karena globalisasi telah membawa kita pada penuhanan materi sehingga terjadi ketidakseimbangan antara pembangunan ekonomi dan tradisi kebudayaan masyarakat.[1]
Pupuh Fathurrohman dalam hal ini menjelaskan “Sejarah telah mencatat bahwa suatu negara dan bangsa bisa hancur bukan karena ekonomi, bukan karena militernya lemah, bukan karena tsunami alam yang menimpa, akan tetapi suatu bangsa dan negara akan hancur karena akhlak dan moral bangsanya telah rusak”.[2]
Adapun kasus datang dari dunia pendidikan, misalnya baru-baru ini bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional terjadi peristiwa seorang mahasiswa FKIP (Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan) yang tega melukai leher dan menebas tangan dosennya sendiri hingga tewas. Kejadian ini sangatlah miris mengingat dilakukan oleh seseorang yang berpendidikan tinggi.[3] Dengan demikian, tidak ada jaminan bahwa semakin tinggi ilmu semakin baik akhlaknya.
Data yang bersumber dari mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan menyebutkan bahwa Indonesia menjadi peringkat 103 dunia, negara yang dunia pendidikannya diwarnai aksi suap- menyuap dan pungutan liar. Selain itu, Anies mengatakan, pada Oktober hingga November 2015, angka kekerasan yang melibatkan siswa di dalam dan luar sekolah di Indonesia mencapai 230 kasus. Kejahatan terorganisir juga menjadi masalah dalam pendidikan di Indonesia. Bahkan mengenai kejahatan terorganisir di bidang pendidikan ini Indonesia berada di peringkat 109 dunia.[4] Informasi tersebut semakin mempertegas bahwa adanya masalah dalam dunia pendidikan sudah dianggap lazim sehingga menjadi potret buruk pendidikan Indonesia.
Menurut Ali Ibrahim Akbar, praktik pendidikan di Indonesia cendrung berorientasi pada pendidikan berbasis hard skill (keterampilan teknis), yang lebih mengembangkan pada ranah intelegensi. Sedangkan, kemampuan soft skill sangat kurang diperhatikan. Dilihat dari pembelajaran sekolah hingga perguruan tinggi, lebih menekankan pada perolehan nilai ujian. Pandangan ini menilai bahwa peserta didik dikatakan baik kompetensinya apabila nilai hasil ujiannya tinggi.[5] Dalam hal ini, pelaksanaan pendidikan belum menyeimbangkan antara kemampuan soft skill dan hard skill dengan baik dan benar mulai dari pendidikan dasar hingga ke tingkat pendidikan tinggi.
Pendidikan nasional belum mampu mencerahkan bangsa ini. Pendidikan kita kehilangan nilai-nilai luhur kemanusiaan, padahal pendidikan seharusnya memberikan pencerahan nilai-nilai luhur. Pendidikan nasional telah kehilangan rohnya lantaran tunduk terhadap pasar bukan pencerahan peserta didik. Pasar tanpa karakter akan hancur dan akan menghilangkan aspek-aspek manusia dan kemanusiaan, karena telah kehilangan karakter itu sendiri.[6]  
Selain itu, karakter kependidikan yang berlandaskan pada pendekatan nilai-nilai al-Qur’an saat ini telah jauh sebagaimana yang diharapkan. Banyak dari pendidik hanya menonjolkan aspek kemampuan intelektualitas belaka (cognitive domain) dan meninggalkan nilai-nilai etika (affective domain). Hal ini tidak sesuai dengan nilai-nilai pendidikan yang diajarkan al-Qur’an yang mengajarkan keseimbangan dalam segala hal.[7]
Berbicara mengenai pendidikan nasional, pendidikan Islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Meskipun pendidikan Islam di bawah Kementerian Agama Republik Indonesia, ia tidak pernah terpisahkan dalam kaitannya dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, terutama hal-hal yang substansial. Oleh karena itu, ketika pemerintah mencanangkan pendidikan karakter bagi perbaikan mutu dan kualitas peradaban bangsa, pendidikan Islam terlibat dan ikut berpartisipasi secara aktif di dalamnya.[8]
Beberapa ahli Islam menilai, adanya pergeseran misi dan orientasi pendidikan Islam dalam institusi pendidikan Islam. Sebagai bagian tak terpisah dari sistem pendidikan nasional, pendidikan Islam yang semula ditujukan untuk membentuk karakter anak didik selaku generasi muda yang memiliki tanggung jawab mengemban visi dan masa depan bangsa, secara metodologis ternyata telah terjebak pada pola pendidikan satu arah bersifat pengajaran semata.[9]
Dalam konteks Islam, persoalan pendidikan merupakan masalah manusia yang berhubungan dengan kehidupan baik duniawi maupun ukhrawi. Dewasa ini, dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari bahwa banyak orang yang kehilangan karakternya sebagaimana manusia. Mereka yang kehilangan karakternya cenderung perilakunya akan didominasi oleh nafsu dan kepentingan-kepentingan instan. Meningkatnya intensitas tawuran antar warga, antar pelajar, serta kekerasan dalam rumah tangga hingga kekerasan terhadap anak, semakin meneguhkan bahwa ada yang tidak beres dalam karakter bangsa.[10]
   Kartadinata menegaskan bahwa telah terjadi penyempitan makna pendidikan dilihat dari perspektif penerapannya di lapangan. Pendidikan telah diarahkan untuk membentuk pribadi cerdas invidual semata dan mengabaikan aspek-aspek spiritualitas yang dapat membentuk karakter peserta didik dan karakter bangsa, yang merupakan identitas kolektif, bukan pribadi.[11]

    Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, BAB I Pasal 1 menyatakan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[12]

BAB II Pasal 3 undang-undang Sisdiknas, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.[13]
     Sisdiknas telah jelas menguraikan tujuan pendidikan nasional bukan sekedar membentuk peserta didik cerdas dalam berilmu tetapi lebih dari itu pendidikan juga berfungsi membangun karakter, watak, serta kepribadian bangsa. Sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Disadari atau tidak bahwa dengan kondisi pendidikan sekarang ini, khususnya mengenai pembentukan karakter belum menjadi prioritas utama dalam implementasinya.
     Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 menjadikan pembentukan karakter sebagai tujuan dari pendidikan nasional. Namun dalam pelaksanannya, pendidikan karakter justru dikesampingkan. Dalam pemikiran guru-guru di sekolah yang penting anak cerdas atau berhasil mencapai kriteria kelulusan di setiap mata pelajaran, soal baik tidaknya sikap dan perilaku anak didik tidak menjadi persoalan. Hal ini menggambarkan bahwa mindset guru harus dirubah.
     Pendidikan karakter bukan hal yang baru dalam sistem pendidikan Islam sebab roh atau inti dari pendidikan Islam adalah pendidikan karakter yang semula dikenal dengan pendidikan akhlak.[14] Oleh karena itu, kajian pendidikan karakter dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari kajian pendidikan Islam pada umumnya. Konsep pendidikan karakter sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah Saw, terbukti dari perintah Allah bahwa misi utama Rasulullah adalah sebagai penyempurna akhlak bagi umatnya. Pembahasan substansi makna dari karakter sama dengan konsep akhlak dalam Islam, keduanya membahas tentang perbuatan prilaku manusia.[15]
     Kata akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu isim masdar dari akhlaqa,   yukhliqu, ikhlaqon. Yang berarti kelakuan tabiat, perangai, watak,  dasar.[16] Sedangkan akhlak menurut istilah yang disampaikan Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Mahjuddin merupakan suatu sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia), yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang dilakukan tanpa melalui maksud untuk memikirkan (lebih lama). Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan norma agama, dinamakan akhlak yang baik. Tetapi manakala tindakan yang jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk.[17]
     Selain itu, dalam Ensiklopedi al-Qur’an pengertian akhlak (khuluq) adalah watak yang diperoleh seseorang dari pergaulannya dengan orang lain atau atas bimbingan orang tua dan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam proses pendidikan.[18] Al-Qurtuby mengatakan bahwa “Suatu perbuatan manusia yang bersumber dari adab kesopanannya disebut akhlak, karena perbuatan itu termasuk bagian dari kejadiannya. Akhlak merupakan bagian dari kejadian manusia yang dapat mempengaruhi setiap perbuatan manusia”.[19]
     Implementasi akhlak dalam Islam terdapat pada pribadi Rasulullah Saw. Dalam pribadi Rasul, bersemai nilai-nilai akhlak yang mulia dan agung. Al-Qur’an dalam Q.S Al-Ahzab ayat 21 menyatakan :
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur  ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ  
 Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah”.[20]
Demikian juga misi diutusnya Nabi Muhammad Saw adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأِتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ  
 Sungguh aku diutus menjadi (Rasul) untuk menyempurnakan akhlak yang baik” (H.R. Imam Baihaqi).[21]

Hadis tersebut menggambarkan bahwa yang menjadi tolak ukur dalam pembentukan karakter mulia adalah kita harus mencontoh atau meneladani karakter Nabi Muhammad Saw yang memiliki karakter yang sempurna.                    
Karakter atau tabiat manusia merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak kelahirannya. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral dan sosial serta etis seseorang. Karakter biasanya erat hubungannya dengan personalitas (kepribadian) seseorang.[22] Karakter adalah watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak yang membedakan seseorang dengan orang lain.[23]
Pendidikan karakter bukan hanya berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan individu secara akademik dan moral. Pendidikan karakter, jika dilaksanakan dengan baik, akan dapat membantu individu agar dapat menjalani hidup lebih bahagia dan bermakna. Kebermaknaan individu akan hidupnya ini dapat meningkatkan perbaikan dan memberikan kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan.[24]
Selain itu, pendidikan karakter tidak sekedar memberikan pengertian atau definisi-definisi tentang yang baik dan yang buruk, melainkan sebagai upaya mengubah sifat, watak, kepribadian dan keadaan batin manusia sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan terpuji.[25]
Oleh karenanya, melalui pendidikan karakter diharapkan dapat melahirkan manusia yang memiliki kebebasan menentukan pilihannya tanpa paksaan dan penuh tanggung jawab. Yaitu manusia-manusia merdeka, dinamis, kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab, baik terhadap Tuhan, manusia, masyarakat, maupun dirinya sendiri.
Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran (spontan) karena sudah tertanam dalam pikiran sehingga melahirkan perbuatan yang bernilai baik terhadap Tuhan, maupun manusia. Dengan demikian, pendidikan akhlak bisa dikatakan pendidikan karakter dalam tinjauan pendidikan Islam.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa “Pendidikan akhlak adalah ruhnya dalam pendidikan Islam, dimana para ulama Islam telah sepakat bahwa pendidikan akhlak adalah ruhnya pendidikan Islam, dan untuk mencapai akhlak yang sempurna itulah yang menjadi tujuan yang sebenarnya dari pendidikan”.[26]
Tujuan tertinggi pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku manusia. Karakter positif ini bersumber dari penghayatan dan pengamalan ajaran Allah SWT dalam rutinitas kehidupan manusia. Keduanya membutuhkan tindakan nyata sebagai ekspresi nilai personal yang tidak bisa lepas dari nilai-nilai spiritualitas, agama, bahkan budaya.[27]
Dengan kata lain, pendidikan harus mampu mengemban misi pembentukan karakter (character building) sehingga melahirkan peserta didik yang dapat berpartisipasi dalam mengisi pembangunan dan berperan sebagai agent of change di masa sekarang dan masa yang akan datang tanpa mengabaikan ajaran agama dan meninggalkan karakter mulia.


       [1] Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, (Jakarta: Bumi Aksara, 2015), h. 1
       [2] Pupuh Faturrohman, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Bandung: Refika Aditama, 2013), h.2
       [3]  Mei Leandha, Cekcok Soal Skripsi Mahasiswa  Bunuh Dosennya, diakses 2016/05/02 10:45 a.m (http://www.kompas.com)
       [4] Ika Akbarwati, Anies Baswedan Nyatakan Pendidikan Indonesia Gawat Darurat, diakses 16/08/2016 11:15 a.m (http://www.selasar.com)
       [5] Jamal Ma’mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta: Diva Press, 2013), h. 22
       [6]Ibid., h. 2
       [7] Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), h. 55
       [8] Sumedi, Tahap-tahap Pendidikan Karakter dalam Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram dan Relevansinya dengan Pendidikan Akhlak Islam, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, Nomor 2, Desember 2012, h. 185
       [9] Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), h. 1
       [10] Sholeh Hasan, “Analisis Komparatif Konsep Pendidikan Karakter Perspektif Thomas Lickona dan Al-Zarnuji serta implikasinya terhdap implikasinya terhadap pendidikan Agama Islam, Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Serentak Se Indonesia, 2016. 30 Maret. Semarang : Universitas Negeri Semarang 2016, h.779
       [11] Muhammad Yaumi, Pendidikan Karakter Landasan, Pilar & Implementasi, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), h. 123
       [12] Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Tamita Utama, 2004), h. 4
       [13] Ibid.., h. 7
       [14] Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 5
      [15] Nur Ainiyah, Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam,  Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi Islam), Vol. 13 Nomor 1, Juni 2013, h. 30
       [16] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h.1
       [17] Mahjuddin, Akhlak Tasawuf , (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h. 4
       [18] Ensiklopedi Al-Qur’an Tematis Jilid 3, (Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, 2006 ), h. 11
       [19] Mahjuddin, op. cit, h. 3
       [20] Al-Qur’an dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, (Jakarta:  Lentera Abadi, 2010), Jilid VII h. 638
       [21] Aḥmad Ibnu al Ḥusaīn Ibnu ‘Alī Abū Bakar al Baīhaqī, Sunan al Baīhaqī al-Kubra, Juz 51 bab Kesempurnaan Akhlak dan Keutamaannya No. Hadis 21301 (Makkah: Maktabah Dār Bāz, 1994 ), h. 472
      [22] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 52
       [23] Saliman, Kamus Pendidikan Pengajaran Dan Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 116
      [24] Doni Koesoema, Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh, (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015), h. 24
       [25] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja oleh Grafindo Persada, 2012), h. 165
      [26] Musli, Metode Pendidikan Akhlak Bagi Anak, Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011, h. 217
       [27] Mochamad Ziaulhaq, Sekolah Berbasis Nilai, (Bandung: Ihsan Press, 2015), h.18