Menurut jumhur ulama, hadis ahad wajib diamalkan jika
memenuhi seperangkat persyaratan makbul. Imam Ahmad, Dawud
Azh-Zahiri, Ibn Hazm, dan sebagian muhadditsin berpendapat bahwa hadis
ahad memberi faedah ilmu dan wajib diamalkan. Sedangkan Hanafiyah,
Asy-Syafi’iyah, dan mayoritas Malikiyah berpendapat bahawa hadis ahad
memberikan faedah zhann (dugaan kuat, relative kebenarannya) dan wajib
diamalkan. Jadi, semua ulama menerima hadis ahad, tidak ada yang menolak di
antara mereka, kecuali jika pada hadis tersebut terdapat kecacatan.[1]
Imam al-Syafi’i telah mengemukakan pendapat
yang lebih konkret dan terurai tentang riwayat hadis yang dapat dijadikan
hujah. Dia menyatakan, khabar al-hasanah (hadis ahad) tidak dapat
dijadikan hujah kecuali hadis tersebut:
1.
Diriwayatkan
oleh para periwayat yang: a. dapat dipercaya pengamalan agamanya, b. dikenal
sebagai orang yang jujur dalam menyampaikan berita, c. memahami dengan baik
hadis yang diriwayatkan, d. mengetahui perubahan makna hadis bila terjadi
perubahan lafaznya, e. mampu menyampaikan riwayat hadis secara lafal, tegasnya,
tidak meriwayatkan hadis secara makna, f. terpelihara hafalannya, bila dia
meriwayatkan secara hafalan, terpelihara catatannya, bila dia meriwayatkan
melalui kitabnya, g. apabila hadis yang diriwayatkannya diriwayatkan juga oleh
orang lain, maka bunyi hadis itu tidak berbeda, h. dan terlepas dari perbuatan
penyembunyian cacat (tadlis)
2.
Rangkaian
sanadnya bersambung sampai kepada Nabi, atau dapat juga tidak sampai kepada
Nabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar